Kumpulan Materi Kuliah Fakultas Ilmu Sosial Dan Politik (ISIPOL)

Senin, 04 Juni 2012

PENTINGNYA MANAJEMEN BIROKRASI PROFESIONAL UNTUK MENGATASI KEMUNDURAN BIROKRASI DALAM PELAYANAN PUBLIK


Kecenderungan birokrasi dan birokratisasi pada masyarakat modern benar-benar dipandang memprihatinkan, sehingga digambarkan adanya ramalan mengenai makin menggejalanya dan berkembangnya praktek-praktek birokrasi yang paling rasionalpun, tidak bisa lagi dianggap sebagai kabar menggembirakan, melainkan justru merupakan pertanda malapetaka dan bencana baru yang menakutkan (Blau dan Meyer, 2000: 3). Siagian (1994), misalnya, mengakui adanya patologi birokrasi. Hal itu dicirikan oleh kecenderungan patologi karena persepsi, perilaku dan gaya manajerial, masalah pengetahuan dan ketrampilan, tindakan melanggar hukum, keperilakuan, dan adanya situasi internal. Demikian juga Kartasasmita (1995) menyebutkan, bahwa birokrasi memiliki kecenderungan mengutamakan kepentingan sendiri (self serving), mempertahankan statusquo dan resisten terhadap perubahan, dan memusatkan kekuasaan. Hal inilah yang kemudian memunculkan kesan bahwa birokrasi cenderung lebih mementingkan prosedur daripada substansi, lamban dan menghambat kemajuan. Benarkah demikian ? Menurut Islamy (1998:8), birokrasi di kebanyakan negara berkembang termasuk Indonesia cenderung bersifat patrimonialistik : tidak efesien, tidak efektif (over consuming and under producing), tidak obyektif, menjadi pemarah ketika berhadapan dengan kontrol dan kritik, tidak mengabdi kepada kepentingan umum, tidak lagi menjadi alat rakyat tetapi telah menjadi instrumen penguasa dan sering tampil sebagai penguasa yang sangat otoritatif dan represif. Sebagaimana dijelaskan dalam beberapa hasil penelitian (Santoso, 1993; Thaba, 1996; Fatah, 1998), bahwa birokrasi di Indonesia ada kecenderungan berkembang kearah “parkinsonian”, dimana terjadinya proses pertumbuhan jumlah personil dan pemekaran struktur dalam birokrasi secara tidak terkendali. Pemekaran yang terjadi bukan karena tuntutan fungsi, tetapi semata-mata untuk memenuhi tuntutan struktur. Disamping itu, terdapat pula kecenderungann terjadinya birokrasi “orwellian” yakni proses pertumbuhan kekuasaan birokrasi atas masyarakat, sehingga kehidupan masyarakat menjadi dikendalikan oleh birokrasi. Akibatnya, birokrasi Indonesia semakin membesar (big bureaucracy) dan cenderung tidak efektif dan tidak efesien. Pada kondisi yang demikian, sangat sulit diharapkan birokrasi siap dan mampu melaksanakan kewenangan-kewenangan barunya secara optimal. Meskipun sudah menjadi gejala yang sangat umum, ternyata pada setiap konteks sistem budaya masyarakat, secara empirik birokrasi dan birokratisasi terlihat dalam pola perilaku yang beragam. Gejala demikian menunjukkan bahwa birokrasi dan birokratisasi tidak pernah tampil dalam bentuk idealnya. Beberapa alasan, mengapa bentuk ideal birokrasi tidak nampak dalam praktek kerjanya antara lain: Pertama, manusia birokrasi tidak selalu berada (exist) hanya untuk organisasi. Kedua, birokrasi sendiri tidak kebal terhadap perubahan sosial. Ketiga, birokrasi dirancang untuk semua orang. Keempat, dalam kehidupan keseharian manusia birokrasi berbeda-beda dalam kecerdasan, kekuatan, pengabdian dan sebagainya, sehingga mereka tidak dapat saling dipertukarkan untuk peran dan fungsinya dalam kinerja organisasi birokrasi.
Ada kecenderungan bahwa beberapa indikator birokrasi lebih berjaya hidup di dunia barat daripada di dunia timur. Hal ini dapat dipahami, karena di dunia barat birokrasi telah berkembang selama beberapa abad. Suatu misal pada abad pertengahan dan seterusnya, perkembangan birokrasi semakin dipacu dan di dukung oleh masyarakat industri. Oleh karena rasionalitas birokrasi cenderung berhubungan dengan gejala industrialisasi, maka banyak negara yang bercita-cita menjadi masyarakatnya menjadi masyarakat industri dan mengadopsi model birokrasi rasional di dalamnya. Namun demikian, bagi masyarakat yang sedang berkembang tidak semua kemanfaatan birokrasi rasional dapat dipetik dan dirasakan. Apalagi birokrasi menghadapi krisis kepercayaan dari masyarakat, maka kecaman dan pesimisme semakin muncul karena banyak anggota masyarakat merasakan bahwa berbagai pola tingkah laku yang telah merupakan kebiasaan dalam birokrasi tidak dapat mengikuti dan memenuhi tuntutan pembangunan dan perkembangan masyarakatnya. Sebagai contoh, Islamy (1998:7) menyebutkan adanya keadaan birokrasi publik di sektor pemerintahan, pendidikan dan kesehatan dan sebagainya berada dalam suatu kondisi yang dikenal dengan istilah organizational slack yang ditandai dengan menurunnya kualitas pelayanan yang diberikannya. Masyarakat pengguna pelayanan banyak mengeluhkan akan lambannya penanganan pemerintah atas masalah yang dihadapi dan bahkan mereka telah memberikan semacam public alarm agar pemerintah sebagai instansi yang paling berwenang, responsif terhadap semakin menurunnya kualitas pelayanan kepada masyarakat segera mengambil inisiatif yang cepat dan tepat untuk menanggulanginya.
Menurut Islamy (1998:7), terdapat pelbagai faktor yang menyebabkan birokrasi publik mengalami organizational slack yaitu antara lain pendekatan atau orientasi pelayanan yang kaku, visi pelayanan yang sempit, penguasaan terhadap administrative engineering yang tidak memadai, dan semakin bertambah gemuknya unit-unit birokrasi publik yang tidak difasilitasi dengan 3P (personalia, peralatan dan penganggaran) yang cukup dan handal (viable bureaucratic infrastructure). Akibatnya, aparat birokrasi publik menjadi lamban dan sering terjebak ke dalam kegiatan rutin, tidak responsif terhadap aspirasi dan kepentingan publik serta lemah beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi di lingkungannya. Sebagai konsekuensinya, perlu dipertanyakan mengenai posisi aparat pelayanan ketika berhadapan dengan masyarakat atau kliennya. Apakah birokrasi publik itu alat rakyat? Alat penguasa? Ataukah penguasa itu sendiri?
Guna merespon kesan buruk birokrasi seperti itu, birokrasi perlu melakukan beberapa perubahan sikap dan perilakunya antara lain : (a) birokrasi harus lebih mengutamakan sifat pendekatan tugas yang diarahkan pada hal pengayoman dan pelayanan masyarakat; dan menghindarkan kesan pendekatan kekuasaan dan kewenangan; (b) birokrasi perlu melakukan penyempurnaan organisasi yang bercirikan organisasi modern, ramping, efektif dan efesien yang mampu membedakan antara tugas-tugas yang perlu ditangani dan yang tidak perlu ditangani (termasuk membagi tugas-tugas yang dapat diserahkan kepada masyarakat); (c) birokrasi harus mampu dan mau melakukan perubahan sistem dan prosedur kerjanya yang lebih berorientasi pada ciri-ciri organisasi modern yakni : pelayanan cepat, tepat, akurat, terbuka dengan tetap mempertahankan kualitas, efesiensi biaya dan ketepatan waktu; (d) birokrasi harus memposisikan diri sebagai fasilitator pelayan publik dari pada sebagai agen pembaharu pembangunan; (e) birokrasi harus mampu dan mau melakukan transformasi diri dari birokrasi yang kinerjanya kaku (rigid) menjadi organisasi birokrasi yang strukturnya lebih desentralistis, inovatif, fleksibel dan responsif. Dari pandangan ini, dapat disimpulkan bahwa organisasi birokrasi yang mampu memberikan pelayanan publik secara efektif dan efesien kepada masyarakat, salah satunya jika strukturnya lebih terdesentralisasi daripada tersentralisasi. Sebab, dengan struktur yang terdesentralisasi diharapkan akan lebih mudah mengantisipasi kebutuhan dan kepentingan yang diperlukan oleh masyarakat, sehingga dengan cepat birokrasi dapat menyediakan pelayanannya sesuai yang diharapkan masyarakat pelanggannya. Sedangkan dalam kontek persyaratan budaya organisasi birokrasi, perlu dipersiapkan tenaga kerja atau aparat yang benar-benar memiliki kemampuan (capabelity), memiliki loyalitas kepentingan (competency), dan memiliki keterkaitan kepentingan (consistency atau coherency). Oleh karena itu, untuk merealisasikan kriteria ini Pemerintah sudah seharusnya segera menyediakan dan mempersiapkan tenaga kerja birokrasi professional yang mampu menguasai teknik-teknik manajemen pemerintahan yang tidak hanya berorientasi pada peraturan (rule oriented) tetapi juga pada pencapaian tujuan (goal oriented). Menurut Johnson (1991:16) istilah professional dan professionalisasi, Pertama, dipergunakan untuk menunjuk pada perubahan besar dalam struktur pekerjaan, dengan jumlah pekerjaan-pekerjaan professional, atau bahkan pekerjaan-pekerjaan halus (white collar jobs) yang meningkat secara relative dibandingkan dengan pekerjaan-pekerjaan lainnya,baik sebagai akibat perluasan kelompok pekerjaan yang sudah ada ataupun sebagai akibat munculnya pekerjaan-pekerjaan baru di bidang jasa. Kedua, dipergunakan dalam arti yang hampir sama dengan peningkatan jumlah asosiasi pekerjaan yang mengupayakan adanya pengaturan rekrutmen dan praktek dalam bidang pekerjaan tertentu. Ketiga, memandang professionalisasi sebagai suatu proses yang jauh lebih rumit yang menunjuk pada suatu pekerjaan dengan sejumlah atribut prinsip-prinsip professional yang merupakan unsur-unsur pokok profesionalisme. Keempat, menunjuk pada suatu proses dengan urutan yang tetap, yaitu suatu pekerjaan dengan tahap-tahap perubahan organisatoris yang dapat diramalkan menuju bentuk akhir profesionalisme. Dengan demikian, manajemen strategi pelayanan publik yang profesional harus lebih berorientasi pada paradigma goal governance yang didasarkan pada pendekatan manajemen baru baik secara teoritis maupun praktis. Sekaligus, paradigma goal governance ini diharapkan mampu menghilangkan praktek-praktek birokrasi Weberian yang negative seperti struktur birokrasi yang hierarkhikal yang menghasilkan biaya operasional lebih mahal (high cost economy) daripada keuntungan yang diperolehnya, merajalelanya red tape, rendahnya inisiatif dan kreativitas aparat, tumbuhnya budaya mediokratis (sebagai lawan dari budaya meritokratis) dan in-efesiensi. Substansi pelayanan publik selalu dikaitkan dengan suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang atau instansi tertentu untuk memberikan bantuan dan kemudahan kepada masyarakat dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Pelayanan publik ini menjadi semakin penting karena senantiasa berhubungan dengan khalayak masyarakat ramai yang memiliki keaneka ragaman kepentingan dan tujuan. Oleh karena itu institusi pelayanan publik dapat dilakukan oleh pemerintah maupun non-pemerintah. Jika pemerintah, maka organisasi birokrasi pemerintahan merupakan organisasi garis terdepan (street level bureaucracy) yang berhubungan dengan pelayanan publik. Dan jika non-pemerintah, maka dapat berbentuk organisasi partai politik, organisasi keagamaan, lembaga swadaya masyarakat maupun organisasi-organisasi kemasyarakatan yang lain. Siapapun bentuk institusi pelayanananya, maka yang terpenting adalah bagaimana memberikan bantuan dan kemudahan kepada masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan dan kepentingannya.
Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan, birokrasi sebagai ujung tombak pelaksana pelayanan publik mencakup berbagai program-program pembangunan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah. Tetapi dalam kenyataannya, birokrasi yang dimaksudkan untuk melaksanakan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan tersebut, seringkali diartikulasikan berbeda oleh masyarakat. Birokrasi di dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan (termasuk di dalamnya penyelenggaraan pelayanan publik) diberi kesan adanya proses panjang dan berbelit-belit apabila masyarakat menyelesaikan urusannya berkaitan dengan pelayanan aparatur pemerintahan . Akibatnya, birokrasi selalu mendapatkan citra negatif yang tidak menguntungkan bagi perkembangan birokrasi itu sendiri (khususnya dalam hal pelayanan publik). Strategi manajemen birokrasi profesional dalam pelayanan publik ini ditandai dengan beberapa karakteristik antara lain: Pertama, perubahan yang besar pada orientasi administrasi negara tradisional menuju ke perhatian yang lebih besar pada pencapaian hasil dan pertanggung jawaban pribadi pimpinan. Kedua, keinginan untuk keluar dari birokrasi klasik dan menjadikan organisasi, pegawai, masa pengabdian dan kondisi pekerjaan yang lebih luwes. Ketiga, tujuan organisasi dan individu pegawai disusun secara jelas sehingga memungkinkan dibuatkannya tolok ukur prestasi lewat indikator kinerjanya masing-masing, termasuk pula sistem evaluasi program-programnya. Keempat, staf pimpinan yang senior dapat memiliki komitmen politik kepada pemerintah yang ada, dan dapat pula bersikap non partisan dan netral. Kelima, fungsi-fungsi pemerintah bisa dinilai lewat uji pasar (market test) seperti misalnya dikontrakkan pada pihak ketiga tanpa harus disediakan atau ditangani sendiri oleh pemerintah. Keenam, mengurangi peran-peran pemerintah misalnya lewat kegiatan privatisasi. Ketujuh, birokrasi harus steril dari akomodasi politik yang menghambat efektivitas pemerintahan. Kedelapan, rekruitmen dan penempatan pejabat birokrasi yang bebas dari kolusi, korupsi dan nepotism. Penerapan pendekatan manajemen profesional pada sektor publik ini telah banyak disuarakan oleh para pakar dengan berbagai label, misalnya dengan nama “managerialism” oleh Pollitt (1990), “new public management” oleh Hood (1991), “market based public administration” oleh Lan dan Rosenbloom (1992), dan “ entrepreneurial government/ Reinventing Government” oleh Osborn dan Gaebler (1992). Apapun label yang dipergunakan, yang jelas pendekatan manajemen profesional ini telah merubah orientasi fokus peran dan fungsi birokrasi dalam pemerintahan yang semula lebih mementingkan “process” menuju ke “product”, atau dari “ rule governance” menuju ke “goal governance”. Tetapi perlu diingat, bahwa dalam perdebatan teoritis dari kedua kutub orientasi ini, baik rule governance maupun goal governance memiliki segi kelemahan dan kelebihannya masing-masing. Kelemahan rule governance, misalnya, dianggap mempunyai penerapan peraturan yang kaku, bercirikan struktural hierarkhikal, pengawasan yang ketat, bersifat impersonal,dan sebagainya, sehingga menjadikan birokrasi sebagai “mesin rasional” yang menciptakan perilaku aparat yang formal dan robotic yang kurang peka terhadap terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan lingkungan sosialnya. Akibat dari struktur birokrasi yang terlalu rasional bisa menimbulkan hal-hal yang sifatnya dis-fungsional, in-efesiensi dan bahkan konflik dengan masyarakat yang dilayani karena sifat impersonal aparat birokrasi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakatnya. Demikian pula, aturan-aturan (rules) sebagai sarana untuk mencapai tujuan seringkali berubah menjadi tujuan itu sendiri. Segi kelebihannya, menunjukkan semakin tingginya tertib administrasi yang dicapai oleh birokrasi publik. Adapun kelebihan goal governance yaitu meletakkan fokus utamanya pada “the achievement of result and taking individual responsibility for their achievement”.Tetapi ia juga memiliki kelemahan apabila prinsip-prinsip manajemen baru itu hendak diterapkan di sektor publik. Misalnya, sampai sekarang masih terjadi diskursus yang seru terhadap 10 prinsip dalam entrepreneurial government-nya Osborn dan Gaebler (1992) yang mereka kemukakan dalam uraian yang sangat provokatif yaitu Reinventing Government. Konsep pemerintahan entrepreneur Osborn dan Gaebler yang mencoba menemukan nilai-nilai baru (re-inventing) di bidang pemerintahan ternyata menurut Painter (1994) mempunyai kekuatan dan sekaligus kelemahan. Kritik Painter terhadap konsep pemerintahan entrepreneur adalah bahwa ia terlalu bias pada “ new administrative values” yang lebih banyak menitik beratkan pada orientasi goal governance dengan meminggirkan nilai-nilai administrasi klasik yang sebenarnya masih potensial yang berbasis pada rule governance. Oleh karena itu, Painter menyebutnya bukannya reinventing government melainkan pemerintahan yang sudah dalam keadaan tertinggal (abandoning government), karena Osborn dan Gaebler sebenarnya telah menghapuskan atau setidak-tidaknya telah membelotkan nilai-nilai pemerintahan. Padahal kedua nilai tersebut (lama dan baru) bisa disatu padukan. Kritik yang lain, misalnya dari Pollitt (dalam Hughes, 1994) yang meragukan penerapan prinsip-prinsip entrepreneurship di sektor publik. Setidak-tidaknya ada dua hal yang melemahkan konsep tersebut dengan mengatakan : “ First, the provider/consumer transactions in the public services tend to be notably more complex than those faced by the costumer in a normal market; and second, public service consumers are never merely consumers, they are always citizens too, and they has a set of unique implications for the transactions”( Pertama, transaksi, provider/ konsumer dalam pelayanan publik cenderung berada pada sesuatu yang khusus dan lebih komplek daripada berhadapan dengan pelanggan di pasar yang normal; Kedua, pengguna pelayanan publik tidak hanya konsumer saja, mereka juga termasuk warga negara lain, dan mereka adalah bagian yang unik dari implikasi suatu transaksi). Sehubungan dengan itu, menurut Hughes (1994) diperlukan adanya repositioning dengan menyusun agenda kebijakan reformasi administrasi negara dengan mensinergikan orientasi rule governance dan goal governance. Hughes mengatakan : …..the best parts of the old model professionalism, impartiality, high ethical standards, the absence of corruption can be maintained, along with the improved performance a managerial model premises” (bagian terbaik dari model profesionalisme lama adalah sikap yang adil, standard etika yang tinggi, tingkat korupsi yang dapat dipantau, bersamaan dengan bentuk dasar pemikiran model manajerialnya). Memahami perdebatan persoalan tatanan dan pertikaian (order and conflict) seperti diatas, hingga kinipun para teoritisi sosiologi-politik sering membandingkannya dengan perdebatan hubungan antara struktur dengan tindakan. Berkenaan dengan persoalan ini, Sharrock dan Watson (1988) mengemukakan sebagai berikut : “What is the relationship between structure and agency? The two seem inimical: structure apparently means givenness, constraint, stability, whilst agency seemingly implies creativity, autonomy, fluidity. How, then, do structure and agency relate in society: is it primarily one or the other? Does emphasis on structure marginalize or eliminate agency, does emphasis on agency dispose of structure?”. Tampaknya, hubungan antara struktur dengan tindakan cenderung digambarkan sebagai bersifat antagonistik. Struktur sering digambarkan sebagai suatu ketentuan, kekuatan penghambat, dan kestabilan. Sedangkan tindakan cenderung menampakkan daya cipta, otonomi, dan ketidak stabilan. Karena itu, penting untuk diajukan pertanyaan. Manakah yang lebih mendasar, struktur atau tindakan? Benarkan bila penekanan diberikan kepada struktur berarti menghilangkan atau meminggirkan tindakan? Sebaliknya, benarkan bila penekanan diberikan kepada tindakan berarti membuang struktur begitu saja? Benarkah bahwa tertib yang berlangsung dalam birokrasi selalu bersifat impersonal? Benarkan bahwa para pejabat birokrasi hanya tunduk kepada suatu tatanan yang menjadi kiblat bagi segala tindakannya? Mengapa birokrasi cenderung bertindak berbeda pada setting ruang dan waktu yang berbeda? apakah perubahan yang dilakukan oleh birokrasi sesuai dengan fungsi reformasi yang dikehendaki oleh masyarakat banyak, ataukah sekedar formalitas sebagai kewajiban struktural yang cenderung statusquo; atau hanya sebagai mesin alat penggerak untuk memanipulasi dan memobilisasi rakyat agar tunduk pada kekuasaan birokrasi (machine bureaucracy)?. Pertanyaan-pertanyaan ini antara lain dapat dijawab melalui pandangan kelompok: aliran strukturalis, aliran strukural-konflik, dan aliran strukturasi. Aliran strukturalis (Marx, 1942; Dahrendorf, 1959), berpandangan bahwa kekuasaan (birokrasi) adalah sebagai fasilitas atau sumber sosial yang dapat dipakai untuk mencapai tujuan bersama. Fungsi sosial dari kekuasaan adalah untuk memelihara ketertiban dan keseimbangan dalam masyarakat. Kekuasaan sebagai atribut utama dalam sistem sosial berwujud kepemimpinan yang bertanggung jawab, tetapi juga berbentuk keputusan-keputusan yang mengikat bagi semua golongan masyarakat. Jadi kekuasaan adalah sarana bagi tercapainya tujuan-tujuan masyarakat secara keseluruhan. Atas dasar itulah, menurut pandangan strukturalis, konsentrasi kekuasaan adalah syah selama masyarakat memang menghendakinya. Kritik terhadap hampiran ini adalah karena kaum strukturalis terlalu menitik beratkan pada struktur yang statis (statusquo) dengan mengabaikan proses perubahan sosial yang terjadi, serta ketidak mampuannya mengatasi konflik secara efektif ( Cohen, 1968; Gouldner, 1970; Abrahamson, 1978). Implikasi hampiran strukturalis ini terhadap fenomena birokrasi profesional menunjukkan bahwa perubahan tindakan birokrasi merupakan gerakan moral masyarakat yang menghendaki adanya suatu perubahan paradigma kinerja birokrasi. Berbeda halnya dengan pandangan aliran struktural-konflik (Gramsci, Baran, Coser, dalam Turner, 1974) ; kelompok yang satu ini justru melihat tindakan birokrasi sebagai suatu fakta sosial yang banyak diwarnai oleh dominasi politik, eksploitasi sosial, dan perkembangan ekonomi. Dominasi politik ditandai dengan suasana paksaan (coercion) yang menimbulkan intimidasi, propaganda dan indoktrinasi. Dominasi sosial ditandai dengan supremasi golongan/ ras/ budaya yang menyebabkan suasana hegemoni. Sedangkan dominasi ekonomi ditandai oleh eksploitasi akibat ketimpangan distribusi alat produksi antara kepentingan kelas borjuasi dengan proletar. Implikasi pandangan aliran strukturalis konflik ini terhadap fenomena birokrasi profesional menunjukkan bahwa perubahan paradigma yang dilakukan oleh birokrasi justru akan menimbulkan konflik baru (new conflict) dalam tatanan kenegaraan, pemerintahan dan kemasyarakatan.
Adapun menurut aliran strukturasi Giddens (dalam Baert, 1998) mencoba mencari hubungan antara struktur dan aktor. Kelompok strukturasionis ini tidak memandang struktur dan aktor atau agen sebagai dua hal yang dikotomis sehingga menghasilkan dualisme struktur; sebaliknya dua hal tersebut saling berhubungan secara dialektis dan kontinuum sehingga menghasilkan dualitas struktur. Aktor atau agen menurut pandangan aliran ini adalah partisipan yang aktif dalam meng konstruksi kehidupan sosial, setidak-tidaknya menjadi tuan atas nasibnya sendiri. Setiap tindakan manusia selalu mempunyai tujuan. Ini berarti bahwa aktor secara rutin dan diam-diam memonitor apa yang sedang ia lakukan, sebagaimana reaksi orang terhadap tindakannya dan lingkungan dimana ia melakukan aktivitas tersebut. Sedangkan struktur, selain dapat membatasi aktivitas manusia (constraining) tetapi juga memberikan kebebasan bertindak (enabling) kepada manusia. Dualitas struktur melihat kekuasaan (birokrasi) sebagai simuka janus (the janus face of power) yang berfungsi sebagai alat analisis kehidupan sosial yang penting, terutama mengenai hubungan antara tindakan manusia dan struktur. Dualitas struktur menganalisis bagaimana tindakan-tindakan aktor sosial di produksi dan juga bagaimana struktur secara terus menerus di reproduksi dalam kegiatan-kegiatan si aktor sosial sepanjang waktu dan ruang yang sangat luas. Teori strukturasi ini tidak luput dari kritik. Beberapa kritik yang sering dikemukakan terhadap aliran strukturasi antara lain : (a) masih sedikitnya bukti empirik yang bisa memperkuat validitas teori ini; Bukan aktor atau agen merubah struktur, tetapi justru struktur merubah aktor atau agen. (b) Giddens dipandang gagal menjelaskan fenomena konflik; (c) diragukan keaslian, kedalaman, kejelasan analitik dan konsistensi internalnya (fallacy of perspectivism), karena berasal dari pinjaman berbagai teori lain; (d) dan dicurigai karena pendirian politiknya cenderung mendukung statusquo.
Implikasi hampiran strukturasi ini terhadap fenomena birokrasi profesional diharapkan akan berdampak positif dalam upaya menciptakan kejelasan pembagian konsep ruang publik (public sphere) dan ruang pribadi (private sphere) dalam pembaharuan perubahan orientasi tindakan birokrasi.
Jawaban teoritis tersebut diatas sengaja penulis ajukan untuk memancing wacana dan emosi para pembaca apakah strategi manajemen birokrasi profesional masih dimungkinkan untuk dilaksanakan atau tidak di Negara Republik Indonesia ini? Jika ya, maka akan lahir putera-puteri bangsa yang terbaik dari yang terbaik (best for the best) seperti yang kita harapkan selama ini.
Dengan tanpa mengurangi rasa optimisme para pembaca penulis akan mengutip salah satu pernyataan dari Terence J. Johnson (1991) untuk bahan renungan dan instropeksi diri kita bersama. Beliau mengatakan sebagai berikut: Benarkah? Sangat boleh jadi,…… pada masa revolusi industri di Eropa, profesionalisme yang demikian itu sesuai dengan realitas. Tetapi menjadikan fenomena historis yang sangat konteksual ini sebagai suatu paradigma untuk masa kini nampaknya tidak lebih dari sebuah mitos. Profesionalisme sejati telah memudar, dan kaum professional seperti yang dapat kita saksikan telah bertingkah laku money-mindedness. Kemadirian mereka pun semakin terdesak oleh birokratisasi pelayanan dan oleh berbagai pengawasan. Betapa lembaga profesionalisme telah mengalami banyak kemerosotan peran dalam masyarakat. Demikian, kata Johnson.
Akhirnya penulis berkesimpulan bahwa untuk mengatasi persoalan kemunduran birokrasi dalam hal pelayanan publik sebagai solusi strateginya perlu memperhatikan beberapa hal, yakni: (1) merubah persepsi dan paradigma birokrasi mengenai konsep pelayanan; (2) adanya kebijakan publik yang lebih mengutamakan kepentingan publik dan pelayanan publik dibanding dengan kepentingan penguasa atau elit tertentu; (3) unsur pemerintah, privat dan masyarakat harus merupakan all together yang sinergi; (4) adanya peraturan daerah yang mampu menjelaskan mengenai standart minimal pelayanan publik dan sanksi yang diberikan bagi yang melanggarnya; (5) adanya mekanisme pengawasan sosial yang jelas mengenai pelayanan publik antara birokrat dan masyarakat yang dilayani; (6) adanya kepemimpinan yang kuat (strong leadership) dalam melaksanakan komitmen pelayanan publik; (7) adanya upaya pembaharuan dibidang sistem administrasi publik (administrative reform); (8) adanya upaya untuk memberdayakan masyarakat (empowerment) secara terus menerus dan demokratis, dst.birokrasi publik dan pemerintahan adalah satu paket. Kini, hampir seluruh pemerintahan di dunia mengalami reformasi dan reorganisasi. Hal ini misalnya dibuktikan dengan karya Samuel P. Huntington mengenai gelombang demokratisasi yang tiga gelombang itu. Di dalam karya tersebut, Huntington menyebutkan Negara-negara di dunia mengalami aneka perubahan dari eksklusivitas, inklusivitas, dan kadang kembali berbalik ke arah eksklusivitas kembali. Dalam perubahan-perubahan tersebut, birokrasi selaku “mesin” pemerintah yang mengimplementasikan kebijakan “harian” Negara juga mengalami perubahan.Persoalan umum yang dihadapi birokrasi publik, terkait masalah demokrasi, adalah efesiensi/inefisiensi dan ketidakmampuan pemerintahan me-manage dirinya selaku sebuah organisasi. Persoalan umum lain Negara demokratis adalah, bagaimana memperkuat kapasitas pemerintah dalam memproses tuntutan dari warganegara serta responsivitas mereka.
1 Potret Indonesia Dalam menghadapi persoalan ini, kerap pemerintah di setiap Negara menerapkan apa yang dinamakan New Public Management (NPM).
2 NPM adalah pelembagaan teknik-teknik manajemen yang membuat sektor publik atau birokrasi Negara berfungsi layaknya perusahaan swasta, seraya menekankan peran pemerintah selaku penyedia jasa kepada para “pelanggannya.” Dalam NPM, warganegara diposisikan layaknya “customer” yang dapat memilih layanan-layanan tertentu yang akan mereka terima dari pemerintah.Selain penerapan NPM, upaya lain guna mengefektifkan layanan pemerintah kepada warganegara adalah pelibatan publik secara lebih langsung dalam memerintah dan memilih kebijakan. Ini misalnya terjadi di Amerika Serikat seperti yang dilaporkan National Performance Review tahun 1993. Di sana, pelibatan publik ini dilakukan dengan cara penguatan kapasitas warganegara biasa dan eselon birokrasi tingkat bawah untuk mempengaruhi kebijakan dan gaya administrasi pemerintahan. Di Kanada, sebuah program bertajuk PS 2000 dan Program for Citizen Engagement juga senada, yaitu memberi kesempatan yang lebih besar kepada warganegara untuk terlibat secara aktif di sektor publik.

Governing dan Governance

Kajian Birokrasi Publik dan Pemerintahan menjadi lebih menarik dikaji jika dibedakan terlebih dulu dua konsep berikut, yaitu Governing (mengatur) dan Governance (memerintah). Governance memiliki nama lain “empowerment” (pemberdayaan) dan “participatory governing” (pemerintahan yang partisipatif). Logika dasar dari governance adalah partisipasi yang lebih besar dari warganegara dalam menyusun dan melaksanan kebijakan akan mempertinggi kualitas pemerintahan. Logika ini didasarkan pada asumsi demokrasi dan efisiensi administrasi Negara. Asumsi demokrasi menggariskan publik harus punya pengaruh yang lebih besar atas setiap kebijakan yang mengatasnamakan mereka. Dalam demokrasi representatif memang sudah ada pengaruh ini, tetapi hanya secara periodik di dalam pemilu saja. Selain itu, administrasi publik pun dapat lebih didemokratiskan sehingga rata-rata pekerja sektor publik dapat menentukan sifat pekerjaan mereka serta pengaturan kebijakan di dalam organisasi secara keseluruhan.Sementara itu, logika administrasi menyebutkan bahwa berdasarkan literatur manajemen, jika suatu organisasi dapat dibuat jadi lebih terbuka dan partisipatif, para pekerja akan lebih termotivasi dalam menginvestasikan waktu dan energi mereka demi organisasi. Eselon birokrasi tingkat bawah punya kumpulan informasi seputar “klien” (warganegara) yang mereka beri pelayanan, sehingga mereka tentu tahu kebutuhan dasar mereka. Jika mereka (para eselon bawah ini) diberikan kesempatan berimprovisasi, maka performasi birokrasi Negara secara otomatis akan menaik.Trust dan Legitimasi. Masalah dasar dari birokrasi publik adalah “trust” (kepercayaan) dan “legitimacy” (keabsahan). Kini telah meruyak kabar seputar ketidakpercayaan masyarakat atas birokrasi Negara. Korupsi, rente, kelambanan, merupakan beberapa keluhan di antaranya. Dengan kata lain, trus warganegara atas birokrasi Negara berada dalam titik rendah. Warganegara pun merasa “tidak percaya diri” ketika berhadapan dengan birokrasi Negara, yang salah satunya diakibatkan ketiadaan “trust” ini.Hilangnya “trust” juga merupakan hasil dari ketidakmampuan warganegara dalam menentukan pola kebijakan pemerintah. Sebab itu, sebagai jalan keluar, perlu dibangun sarana pelibatan dan pemberdayaan warganegara yang mampu menutupi hilangnya “trus” ini. Di sisi lain, “legitimasi” pun menjadi masalah tersendiri. Legitimasi berkait dengan masalah pentingnya masyarakat sipil dalam pemerintahan. Asumsinya adalah, agar efektif secara demokratis, pemerintahan harus didukung keterlibatan aktif dari masyarakat sipil.3 Ketika pemerintah memberdayakan keterlibatan kelompok-kelompok sipil dalam pemerintahan, secara otomatis legitimasi mereka akan meningkat. Aktor-aktor masyarakat sipil perlu diajak ikut serta dalam menentukan kebijakan publik.

“Governing” dan “Governance” secara asal bahasa berkait dengan bagaimana mengatur dan mengendalikan sesuatu. Tatkala pemerintah hendak mencapai tujuannya, mereka harus sadar konsekuensi-konsekuensi dari tindakan sebelumnya seraya menggunakan feedback-feedback yang muncul dari lingkungan selaku bahan baku (input) kebijakan kemudian. Pola “mengatur” atau “governing” tradisional ditandai dengan konsenstrasi otoritas yang hirarkis dan ditentukan dari pusat pemerintahan. Dalam Negara demokratis, otoritas itu dihasilkan lewat mekanisme pemilu, sementara di Negara-negara nondemokratis, otoritas datang dari kendali pemerintah atas instrument-instrumen kekuatan di dalam masyarakat. Baik di Negara demokratis maupun nondemokratis, birokrasi publik dikonseptualisasi sebagai bertanggung jawab pada “political masters” mereka, sementara para staf birokrasi publiknya bercorak hirarkis dan bersifat politis.Tata cara “governing” seperti ini kemudian direformasi lewat NPM (New Public Management). NPM bercara pandang neo-liberal. NPM cenderung mengurangi posisi dominan dari para politisi dalam birokrasi publik. Kerap dalam NPM ini, manager publik (para kepala badan birokrasi) diambil dari kalangan “luar” pemerintahan dengan tujuan mengaplikasikan tata cara baru dalam melakukan pengaturan (governing). Mereka dapat saja diambil dari direktur-direktur perusahaan swasta, praktisi, akademisi, ataupun organisasi-organisasi LSM. Posisi para kepala ini bukan sekadar kepala birokrasi publik tetapi juga “policy entrepreneur” (wirausahawan kebijakan). Sebab itu, kriteria unggulan dalam NPM adalah pada performa bukan lagi pada kriteria politik. Di Indonesia dapat kita ambil contoh perekrutan Riny Suwandi (Direktur PT. Astra) selaku Menteri Perdagangan atau Sri Mulyani Indrawati (akademisi) selaku Menteri Keuangan. Upaya-upaya ini dilakukan pemerintah demi mengambil perspektif masyarakat sipil dan professional dalam melakukan penataan kehidupan birokrasi publik. Namun, peralihan otoritas menuju para manager ini bukan tanpa risiko. Terkadang terjadi masalah koordinasi dan koherensi kebijakan di kalangan pemerintah sendiri.“Governance” atau “memerintah bersama” merupakan pendekatan alternative atas “governing” atau tepatnya, administrasi Negara. Governance hakikatnya adalah pelibatan masyarakat secara lebih besar dalam melakukan “governing”. Governance berupaya mengurangi aspek hirarki dalam sistem administrasi Negara. Masalah hirarki ini kerap dicurigai sebagai penyebab hilangnya “orang-orang berbakat” di dalam pemerintahan dan mengasingkat publik. Dalam konsep “governance”, masalah jaringan atau “network” menempati posisi penting. Network merupakan komponen sentral dalam kerangka “governance.” Asumsi dasarnya adalah, suatu kebijakan lahir akibat pengaruh aneka organisasi sipil, actor sipil, ataupun lembaga-lembaga pemerintah. Interaksi antarkomponen inilah yang kemudian membentuk “network” suatu kebijakan pemerintah. Network ini diasumsikan mampu mengatur diri sendiri dan mampu membuat serta mengimplementasikan keputusan atas diri mereka. Network ini menyediakan link antara Negara dengan masyarakat. Namun, ia berbeda dengan hubungan di dalam perusahaan atau korporasi. Dalam “governance network” ini, hubungan lebih bersifat otonom dan bahkan mampu mengesampingkan Negara ketimbang melayaninya.Network ini dapat berupa struktur terbuka yang akan mengakomodasikan luasnya cara pandang dan pula melibatkan partai-partai politik. Di sisi lain, network ini pun dapat berupa struktur tertutup yang hanya terdiri atas keanggotaan dari mereka-mereka yang punya skill atau pengetahuan tertentu. Ketertutupan ini pun ditandai dengan spesifikasi mereka untuk mempengaruhi kebijakan-kebijakan tertentu saja.Jika NPM hanya mengupayakan desentralisasi implementasi kebijakan, maka “governance” justru mengupayakan pembuatan kebijakan dalam cara yang lebih terdesentralisasi. Dalam “governance” hirarki organisasi lebih bersifat datar dan bersifat bottom-up, ketimbang di NPM yang top-down.

Governance dan Demokrasi

Dalam pengertian umum demokrasi perwakilan, warganegara terlibat dalam penentuan kebijakan hanya secara periodik, di waktu pemilu saja. Kini, lewat konsep “governance” keterlibatan warganegara hendak dilakukan setiap saat. Warganegara dapat terlibat dalam penentuan kebijakan dan cara pelaksanaannya melalui serangkaian aktivitas yang menghubungkan publik pada pemerintah.Lewat konsepsi “governance” terjadi peralihan lokus keterlibatan publik, dari sekadar input (pemilu) menjadi output (penentuan kebijakan dan pelaksanaannya). Pemerintah dalam persepsi NPM legitimasinya berada dalam hal output mereka atas “customer” (warganegara). Dalam “governance” terdapat lebih elemen demokrasi dan politik yang terlibat dalam legitimasi. Namun, legitimasi politik tersebut bukan berasal dari partai politik dan caleg terpilih, tetapi lebih diturunkan dari kontak-kontak langsung antara warganegara dengan pemerintah, khususnya dengan birokrasi-birokrasi pemerintah. Ini atas asumsi, warganegara lebih banyak bersentuhan dengan para birokrat ketimbang caleg terpilih mereka.Pada sisi lebih lanjut, kontak-kontak yang terjalin antara warganegara dengan birokrat akan mendorong terbentuknya “trust” dalam sistem pemerintahan dan atas pemerintah itu sendiri. Interaksi ini terjalin juga antara kelompok-kelompok sosial masyarakat dengan pemerintah, yang jika berjalan dengan harmonis, akan mendorong terbentuknya citra positif atas pemerintah.

Governance dan Efektivitas

Demokratisasi dan legitimasi adalah pendekatan dasar memerintah di dalam administrasi Negara. Kendati hirarki merupakan suatu kebutuhan dalam memanage sejumlah besar orang dengan ragam pekerjaan, tetapi model manajemen partisipatif diyakini dapat memuncul efektivitas hasil yang lebih besar lagi. Keterlibatan klien dan publik diyakini punya konsekuensi yang positif pada program-program publik. Efektivitas ini datang dari pengerjaan tugas secara bersama lewat organisasi-organisasi jaringan (network).Salah satu kelebihan dari jaringan organisasi ini adalah terlibatnya birokrat di lini depan dalam pembuatan keputusan. Jadi, tatkala suatu masalah muncul dan diidentifikasi sumber dan solusinya, dengan bantuan organisasi-organisasi masyarakat sipil, birokrat lini depan langsung mengambil inisiatif tindakan. Keputusan yang diambil punya nilai legitimasi karena melibatkan organisasi publik nonpemerintah.Pem-bypass-an pengambilan keputusan ini mampu menembus kerumitan pembuatan kebijakan baru yang melanda hirarki pembuatan keputusan birokrasi secara tradisional. Tentu saja, masalah yang kemudian muncul adalah integrasi antar kebijakan dan struktur lini birokrasi yang berbeda-beda. Namun, jika ditinjau dari sisi efektivitas, maka cara pembuatan di lini cukup cepat. Tentu saja tanpa menghilangkan derajat integrasi antar kebijakan itu. Salah satu unsur penting dalam efektivitas ini adalah responsivitas. Responsivitas adalah kemampuan birokrasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, serta mengembangkan program-program pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat.4 Responsivitas ini berkait erat dengan actor yang mempengaruhi pembuatan keputusan dan pelaksanaannya. Pertama, birokrat di tingkat lini secara otomatis lebih mengetahui problem masyarakat akibat ia bersentuhan langsung. Kedua, elemen masyarakat (biasanya organisasi kemasyarakatan) merupakan saluran masyarakat dalam menghadapi Negara, yang harus dilibatkan dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan.

Kesimpulan

Pertama, seluruh pemerintahan di dunia pasti pernah mengalami reformasi dan reorganisasi sektoru administrasi publik atau birokrasi. Kedua, dua pendekatan yang perlu digarisbawahi dalam mengidentifikasi hubungan antara birokrasi dan demokrasi pada sector public adalah Governing dan Governance. Ketiga, governing erat berkait dengan aspek mengatur ataupun menggariskan, di mana peran pemerintah tetap sebagai satu-satunya aktor yang berhak mengambil kebijakan, keputusan, dan tata cara pelaksanaannya. Pada ujungnya, reformasi dalam governing berwujud pada pendekatan New Public Management.Keempat, governance erat berkait dengan aspek memerintah secara bersama. Dalam konsep ini, pemerintaha duduk bersama organisasi-organisasi masyarakat mengambil keputusan, kebijakan, dan tata cara pelaksanaannya. Peran yang diperbesar dalam governance adalah birokrat lini. Kelima, dalam kaitannya dengan demokrasi, governance menghendaki keterlibatan warganegara dalam pemerintahan tidak hanya pada saat pemilu saja. Dalam kaitannya dengan efektivitas, governance memangkas kelambanan dan insensitivitas yang biasanya berkembang dalam sistem pengambilan keputusan terpusat dan hirarkis .
Ada pertentangan antara nilai-nilai birokrasi (peraturan, efisiensi, keragaman) dandemokrasi (transparansi, fleksibilitas, mau menerima) serta yelah dibahas secara luas dalamilmu politikdan literatur administrasi publik (Behn, 2001; Etzioni-Halevy, 1983; Finer, 1942;Frederickson, 1980; Friedrich, 1940; Hyneman, 1950; Yates, 1982). Sejak zaman Yunanikuno, para ahli dan pemerintah telah bersitegang tentang bagaiman cara terbaik melayanimasyarakat dan melindungi mereka dari penindasan-penindasan.Kita sering diingatkan akan ketakutan terhadap tirani dan kekuasaan terpusat yangmana kedua hal ini menjadi pertimbangan utama dalam konstitusi Amerika Serikat ketikadibentuk. Yayasan Fathers berharap ada pengawasan dan keseimbangan dalam konstitusiuntuk mengurangi pengaruh doktrin-doktrin tentang kekuasaan. Dengan membatasikekuasaan, kemerdekaan dan kebebasan akan tercapai. Kebebasan individual akanterlindungi oleh mekanisme-mekanisme institusi seperti hak veto, peninjauan kembali, dansistem federalisme. Bagaimanapun juga, yayasan ini cenderung diam terhadap peran-peranadministrasi dan potensi terhadap penyalahgunaan kekuasaan oleh mereka yang ditunjuk sebagai penguasa. Karena dengan konstitusi dan mengangkat orang-orang untuk berkuasaakan menambah kekuasan-kekuasaan yang baru. Campur tangan penguasa terhadap cabang-cabang administrasi yang ada tidak akan sesuai baik dengan teori dan mekanisme kekuasaan-kekuasaan yang terpisah dalam konstitusi. Para ahli zaman dulu telah membahas sedetailmungkin akan tidak adanya campur tangan/wewenang konstitusi terhadap cabangadministrasi pemerintahan (Woll, 1965, hal. 15).Ketiadaan wewenang ini menciptakan problematika dan menjdi kebingungan akanistilah bagaimana membatasi kekuasaan birokratis.Di judul ini kita akan membahas tentang perumusan birokrasi klasik, kritik birokrasi, pertentangan antara nilai-nilai birokrasi dan demokrasi, dan manajemen publik yang baru(NPM).
PERUMUSAN BIROKRASI KLASIK 
Dalam analisisnya tentang birokrasi, Max Weber mengatakan agar menghitung akibat-akibat terakhirnya pada administrasi publik. Kerangka tentang konsep birokrasinya dapatdilihat pada pemikirannya tentang kekuasaan, dominasi dan wewenang. Weber membedakan3 tipe kewenangan berdasarkan kalim legitimasinya. Pertama wewenang yang bersifattradional, wewenang jenis ini dilegitimasi oleh waktu dan kemurnian tradisi itu sendiri.Kedua adalah kewenangan kharismatik, jenis ini dilegitimasi oleh karakter kepemimpinanseseorang. Sedangkan yang terakhir adalah kewenangan legal-rasional, wewenang inidilegitimasi berdasarkan hukum yang ada dan hak yang berwenang untuk mengeluarkan perintah/keputusan (Etzioni-Halevy, 1983, hal. 27).Kewenangan yang bersifat legal-rasional adalah dasar birokrasi. Weber berkata bahwasecara tehknis birokrasi-birokrasi dapat mencapai tingkat rasionalitas dan keefektifan yangtertinggi. Bentuk hirarki sendiri memiliki perencanaan, koordinasi, kontrol dan disiplin.Penyerapan tenaga kerja dengan berdasarkan kulifikasi akan meningkatkan pengetahuan dankompetensi dasar. Hukum/undang-undang akan menyelamatkan usaha yang ada melaluistandarisasi. Menurut saya sendiri, hal ini akan meningkatkan produktivitas dan mencegah perlakuan yang tidak adil.Weber menganggap birokrasi sebagai suatu hal yang khusus dalam organisasi modern.Dia merumuskan sistem kewenangan legal sebagai berikut:Tugas-tugas pejabat di atur secara berkelanjutan dengan berdasarkan peraturan yang berlaku.Tugas-tugas tersebut dibagi berdasarkan fungsinya dan dilengkapi dengan kebutuhanmereka beserta sanksi-sanksinya.Para pegawai negeri disusun secara hirarki dan di kontrol dengan sebenar-benarnya.Peraturan tentang lapangan pekerjaan bisa disediakan baik secara legal dan tehknis. Tapikeduanya ini membutuhkan pelatihan/training.Sumber-sumber organisasi harus agak berbeda dengan anggotanya secara pribadi.Pegawai bisa mengambil apa yang ada dikantornya untuk dirinya sendiri.Administrasi-administrasi yang berjalan harus memiliki dokumen. Hal ini dimaksudkanagar mereka terarah untuk menjadi orang-orang yang berorganisasi modern.Sistem kewenangan legal bentuknya bisa banyak, tapi hal itu akan nampak darikemurnian/kejujuran anggota-anggota staf administrasi birokrasi yang ada.Weber juga menambahkan karakteristik staf birokratis yang ideal, diantaranya:Secara pribadi mereka harus bebas dan hanya bergelut di kantor mereka sendiri.Struktur setiap kantor harus jelas.Fungsi setiap kantor harus jelas.Mereka ditunjuk/di angkat berdasrkan kontrak.Yang diseleksi berdasarkan kualifikasinya, paling tidak harus lulus diploma dan di tes.Memiliki gaji tetap dan hak pensiunan. Gaji diperoleh berdsarkan tingkat jabatannya.Pagawai dapat meninggalkan kantor setiap waktu dan hak-hak pensiunan bisaditiadakan berdsarkan keadaan tertentu.Kantor adalah pusat kerja pegawai.Ada jenjang karir, promosi jabatan karena telah menikah atau menjadi pejabat senior.Promosi ini ada hanya dengan berdasarkan penilaian atasan.Pegawai boleh memiliki apa yang adda dikantornya jika ia membutuhkannya.Pegawai adalah orang yang menyatukan sistem disiplin dan kontrol (Albrow, 1950, hal.43-45).Inilah ciri-ciri birokrasi yang ideal menurut Weber. Dia mengatkan bahwa birokrasiadalah bentuk organisasi yang menuaskan. Hal-hal di atas ada hanyalah demi ketelitian,kecepatan, kejelasan, keberlanjutan, kesatuan, penegasan kepada bawahan danmenghindarkan perselisihan antar perorangan.Weber dikenal dengan kontribusi pemikiran birokrasinya. Dia menggambarkan batasan yang bermacam-macam dalam model yang ia buat dan memberitahukan bahwa birokrasi bisa menciptakan bentuk elit (tim ahli) yang baru. Bentuk elit yang baru ini dapat mengontrol pemimpin terpilih melalui keahlian yang efektif. Sebagai tambahan, birokrasidianggap berlawanan dengan kedaulatan ide-ide demokrasi. Ketakutan terhadap kontrol danaturan para elit yang mana memilih teknokrasi secara sempit nampaknya tidak akan pernahmereda sepanjang waktu. Saat ini, jika dihubungkan dengan tindakan bodoh dan tidak  berguna dari agen-agen pemerintahan maka konsep-konsep tentang birokrat dan birokrasi initelah jatuh hingga ke level terendah.
KRITIK BIROKRASI 
Disebabkan karakter anti demokrasinya, birokrasi-birokrasi dikritik secara besar- besaran. Sebagai tambahan, sekelompok kegagalan-kegagalan yang lain berhubungan denganide-ide birokrasi (Niskanen, 1971). Istiah terlau berat, minum kopi dan pejabat yang tidak  produktif telah tertanam dalam jiwa orang-orang Amerika. “Tamparan terhadap birokrat”telah menasional yang mana hal tersebut dilontarkan oleh tokoh-tokoh terkemuka sepertiRush Limbaugh yang menitikberatkan pandangannya pada antipati terhadap anti birokrasi.Bagaimanapun juga, sepanjang sejarah Amerika, caci maki dan ketidakpercayaan terhadap pemerintah telah ada.Sejak akhir tahun 60-an para politisi telah menunggangi kemenangan terhadap anti birokrasi. George Wallace, ketika kampanye kepresidenannya pada tahun 1968 telahmenyatakan bahwa para birokrat itu membayar lebih banyak dari yang semestinya, tidak responsif, malas, dan “saling menunjuk”. Tahun 1976, Jimmy Carter berhasil kampanyedengan janji akan membersihkan washington dari sisa-sisa Watergate-nya. Kemudian padatahun 1980 gubernur California, Ronald Reagan kampanye sebagai “orang luar” politik yangmembawa persfektif baru bagi Washington dan mengubah status quo-nya.Perwujudan yang sempurna akan tamparan terhadap birokrasi ini diraih pada zamanadministrasi Ronald Reagan. Pada saat pidato pelantikannya dia berkata “ pemerintahan bukanlah solusi bagi masalah kita, tapi masalah kita adalah pemerintahan”. Dengan dukunganyang besar, tindakan-tindakan tersebut mampu mengangkat pemerintahan secara signifikan pada zaman dulu ketika pemimpin seperti Franklin Roosevelt John Kennedy dapat menikmatidukungan yang begitu luas untuk memperbesar ukuran dan ruang lingkup pemerintahan.Akhir tahun 1961, Kennedy menyerukan slogan “jangan tanya apa yang negara bisa berikanuntukmu, tapi tanyakanlah apa yang bisa kau perbuat untuk negaramu ”. Pada saat itu layanan pemerintahan masih dianggap sebagai panggilan suci, terhormat dan respek. Tapi setelahkemunculan berbagai komunitas seperti Vietnam, Komunitas Johnson, Watergate danadministrasi di masa Carter membuat pemerintahan dan pejabat-pejabatnya ternoda.Pada tahun 1980, sekali lagi, orang-orang Amerika untuk menerapkan kembali konsep pembatasan pemerintasan dan pasar bebas. Prinsip-prinsip Leissez-faire akan pajak yangrendahdan mengurangi aturan pemerintahan disambut dengan gembira dan di teriakkanlahslogan “pemerintahan ada di belakang rakyat ” secara terus-menerus sampai slogan tersebutmenjadi populer. Sejumlah buku dan artikel-artikel akademik mendukung program ini(membatasi pemerintahan). Pandangan terhadap masalah sosial seperti kemiskinan, perkembangan ekonomi dan kekerasan baik itu yang dilakukan oleh pemerintah sendirimemperoleh legitimasi. Jadi pemerintah juga mengubah prioritasnya dari penerima masalahrakyat menjadi penyebab masalah. Sehingga jawaban atas masalah-masalah ini hanya dapatdi tuntaskan dengan memotong program pemerintah, mengurangi pejabat, mengurangiundang-undang, membuat insentif pokok dan memperhatikan sektor khusus yangmengalokasikan sumber daya-sumber daya bagi masyarakat produktif. Yang jelas, pada tahun1960-an pemerintah belum sanggup untuk menciptakan hari-hari tenang dan damai. Beberapa
 
ahli bahkan mengatakan bahwa pemerintah tidak akan pernah bisa memiliki kecemerlanganyang sama seperti pada pada masa lalu. Penyerangan terhadap gedung WTC di New York memunculkan pembaharuan dalam istilah patriotisme. Belum lagi fenomena “kelilingi bendera ” sepertinya belum abadi. Dari hal ini diharapkan para politisi kembali ke posisiuntuk “menyalahkan birokrat ” dan meminta intelejen untuk mengumpulkan biro-biro sepertiBiro Investigasi Federal yang mana mampu meningkatkan penelitian yang cermat untuk “kekurangan-kekurangan” mereka dalam menyediakan informasi yang cukup tentangterorisme.Istilah anti Washington masih bisa ditemukan baik di kampanye lokal maupunnasional. George W. Bush, Reagan, dan gubernur dengan negara yang luas dan berkampanyesebagai “orang luar” memiliki nilai-nilai yang berbeda bila dibandingkan “orang dalam”nyaAl-Gore. George W. Bush dan penesehatnya menggunakan dengungan kata-kata sepertikarakter, adat kebiasaan, dan respek terhadap kantor kepresidenan. Hal ini dimaksudkanuntuk mengingatkan bahwa pada masa sebelumnya, Clinton dan orang-orang Demokratmelemahkan nilai-nilai ini.persepsi yang dibangun tentang orang luar, sekali lagi (seperti pada masa Reagan) harus diterapkan di pemerintahan untuk membersihkan kebobrokan yangditinggalkan oleh orang-orang administrasinya. Kelompok baru ini memiliki kejujuran dankantornya pun dibuat sedemikian rupa. Sama halnya dengan reformis pada zaman dulu,mereka akan mengeliminasi “mesin” korup politik. Politisi baru semestinya memperbaikisektor publik yang “rusak” seperti yang dicontohkan oleh Clinton. Begitu juga kejujuran danketulusan Jimmy Carter yang mengganti “bahaya” dan amoralnya Richard Nixon. Prinsip- prinsip para tokoh Republik akan menggeser pengaruh “tantangan moral” para Demokratyang diwujudkan oleh Bill Clinton.Para pejabat pemerintah secara perlahan memiliki pertentangan yang sama untuk melawan pemimpin seperti Clinton. Birokrasi menjadi “kambing hitam” abadi dari semuakesalahan, pemecatan dan pembersihan yang berulangkali melanda negara. Sementara pemimpin terpilih datang dan pergi secara silih berganti. Bagaimanapun juga, “permainansaling menyalahkan” ini menyisakan ketidakpercayaan dan caci maki. Sisa yang tertinggaltersebut selanjutnya akan menjadi penghambat permanen dalam mengatasi layanan pekerjasipil. Dan hal ini menjadi kendala untuk mencapai nilai “kompeten yang netral” menujukredibilitas dan pejabat juga akan frustasi dengan kritikan-kritikan yang ada.Ketakutan terhadap pemegang kekuasaan yang tidak dipilih seperti para agen pemerintah adalah masalah pokok yang berkepanjangan. Dalam tulisan klasik tentang birokrasi, von Mesis (1944, hal. 2) mengecam birokrasi dengan menulis bahwa setiap orangsetuju kalau “birokrasi adalah setan”. Mesis berpendapat bahwa bagaimanapun juga birokrasiitu hanya gejala dan bukn tempat duduk bagi setan. Setan yang dia maksud disini adalah“sistem pemerintahan yang baru” yang membatasi kebebasan individual dan memberikantugas yang begitu banyak bagi pemerintah (hal. 9). Seperti Reagan, Mises berbicara tentanghal baik dan buruk yang mana birokrasi adalah alat untuk melakukan perbuatan buruk.Dengan metafora ini, birokrasi adalah perubahan karakter “Darth Veda” dalam Star Wars,sedangkan “Luke Skywalkers” adalah pejuang bagi kebebasan individual dan keadilanmelawan raja lalim birokrasi.Meskipun birokrasi ini sering diistilahkan dengan hal yang buruk, tapi sangatdibutuhkan bagi masyarakat modern. Max Weber dengan jelas berpikiran bahwa tipewewenang “legal-rasional” adalah yang paling tinggi dibandingkan dengan yang lain, baik itukharismatik dan tradisional. Francis F. Rourke (1984, hal. 15-16) mengklaim bahwa kedua bangsa baik itu bangsa berkembang maupun tidak membutuhkan layanan-layanan birokratyang sudah terlatih dengan baik. Ini dimaksudkan agar keputusan-keputusan para pemimpin politik dapat dituntun dengan nasehat yang objektif dari orang-orang tersebut (Wilson, 1887).Orang-orang terlatih ini juga akan memastikan kelanjutan pemerintahan karena mereka lebih  
Makanan yang menyediakan makanan bagi kaum fakir dan miskin dan program pengobatan bagi mereka yang memiliki pendapatan pas-pasan. Beberapa tahun terakhir ini, anggaran pemerintah meningkat tajam seperti pada program pengobatan dan keamanan sosial. Selamamasa George W. Bush, anggaran meningkat tajam pada program perlindungan dan antiterorisme.Dulu, ketika aktivis pemerintah memperkenalkan nilai-nilai spesifik mereka didampingi oleh pengacara (Frederickson, 1980). Bagi analis-analis ini, pemerintahan bukanlahsetan (keburukan) tapi merupakan pengejawantahan dari kebaikan. Selengkapnya persfektif ini adalah penerimaan terhadap konsep kebebasan positif. Kebebasan positif ini menyarankankepada pemerintah agar tidak memiliki campur tangan yang berlebih akan kebebasanindividual. Pemerintah seharusnya mengatasi masalah dan memperbaiki yang salah.sektor  publik juga seharusnya mengambil tindakan proaktif untuk memperkenalkan nilai-nilaiseperti keadilan sosial, pemerataan, kesempatan dan keadilan. Pemerintah harusmemperkenalkan keadilan, kemudian memperluas kesempatan, dan meningkatkan pemerataan. Pandangan aktivis pemerintahan ini sejalan dengan pandangan yang adasekarang tentang nilai partisipasi dan kewarganegaraan.Beberapa tahun terakhir, banyak sekali literatur telah disusun yang menggambarkantentang masyarakat demokratis (King dan Stivers, 1998; Shklar, 1991, Stivers, 1994).Menurut pandangan ini partisipasi warga negara akan meningkatkan akuntabilitas, respon,dan keadilan sosial. Konsep sosial kapital saling berkaitan dengan ide kewarganegaraan.Pendukung konsep ini adalah pofesor dari Harvardyang bernama Robert Putnam. Putnammenyatakan bahwa tradisi demokratis Amerika bergantung pada keberadaan warga negarayang aktif pada semua kelompok dan asosiasi.dia mencatat bahwa prospek-prospek untuk  peningkatan dalam bidang pendidikan, kemiskinan, kekerasan dan perlindungan kesehatanmeningkat yang mana anggotanya adalah mereka yang terikat perjanjian. Bagamanapunkecemasannya, Putnam mendokumentasikan penurunan yang besar yang terjadi di level perjanjian kewarganegaraan dan level “sosial kapital” di Amerika Serikat mengatakan:
Suatu masyarakat yang digolongkan dengan menyamaratakan hubungan timbal baliknya akanlebih efisien dibandingkan dengan masyarakat yang saling mencurigai, dengan alasan yangsama bahwa uang lebih efisien daripada melakukaan barter. Jika kita tidak harusmemperhitungkan setiap pertukaran secara instan maka kita akan memperoleh lebih banyak  penyelesaian. Sifat saling percaya akan melancarkan kehidupan sosial, . . . kami wargaAmerika butuh memperbaiki hubungan antara satu sama lain. (Putnam, 2000, hal. 21, 28)
Advokat-advokat warga demokratis secara umum mengutuk kelemahan input politik darirata-rata warga negara dan mendukung peningkatan level-level dari partisipasi warga negara.Mereka juga mengekspresikan adanya potensi penyalahgunaan jabatan oleh para pegawai(Etzioni-Halevy, 1983; Mises, 1944; Terry, 1995). Denhart (2000, hal. 549) berargumen bahwa para administrator publik seharusnya fokus dengan tanggungjawab mereka untuk melayani dan memperkokoh warga negara. Mereka mengatkan bahwa “tekanan seharusnyatidak diarahkan pada kemudi atau yang mendayung roda pemerintahan tapi kepada institusiyang ditandai dengan integritas dan respon.” Penulis percaya bahwa memperkenalkan etikayang mereka istilahkan dengan “Layanan Publik yang Baru” bisa mendukung institusi.Layanan ini dibedakan oleh beberapa karakteristik diantaranya:Menolong warga negara untuk menyampaikan dan mencapai tujuan yang merekamaksud. Dalam layanan ini peran pemerintah bukan hanya langsung bertindak denganmengeluarkan keputusan namun pemerintah menjadi pemain dalam proses
 
 bergeraknya masyarakat dari satu arah ke arah yang lain dan bertindak secara pribadidengan lembaga non profit untuk mencari solusi dari masalah-masalah yang ada.Membuat gagasan kolektif demi kepentingan rakyat. Tujuan administrasi publik adalahmenciptakan kepentingan dan tanggungjawab bersama. Sedangkan sentral prosesnyaadalah mengadakan pertimbangan dan dialog yang mendalam tentang hal itu.Pemerintah harus mengajak masyarakat untuk memfasilitasi untuk membuat wacanaautentik dan tidak memaksa demi masa depan masyarakat. Pemerintah harusmeyakinkan bahwa solusi yang di peroleh konsisten dengan norma-norma demokratis,sama rata dan berkeadilan.Mendemonstrasikan usaha-usaha kolektif dan proses kolaboratif secara demokratis.Program pendidikan kewarganegaraan dan pengembangan pemimpin dapatmerangsang tanggungjawab dan kebanggaannya sebagai warga negara. Tujuanlayanan ini adalah memastikan bahwa pemerintah bersifat terbuka dan mudah diakses. Pemerintah harus melayani masyarakat dan menciptakan kesempatan-kesempatan bagi setiap warga negara.Melayani warga negara, bukan pelanggan. Pelayan publik seharusnya tidak hanyamerespond permintaan pelanggan tapi juga fokus menjalin hubungan kepercayaan dankolaborasi dengan masyarakat. Dalam pemerintahan, faktor yang menjadi peranan penting dalam melayani masyarakat adalah keadilan dan penyamarataan.Memperhatikan undang-undang dan peraturan konstitusi, nilai-nilai kemasyarakatan,norma-norma politik, standar profesional dan kepentingan masyarakat. Administrasi publik harus dipengaruhi oleh institusi, norma, nilai dan sumber yang banyak. Mereka bisa mengambil keputusan lewat dialog, pengukuhan warga negara.Menilai orangnya dan bukan hanya menilai produktivitasnya. Organisasi-organisai publik akan berhasil jika berjalan melalui proses kolaborasi dan kepemimpinan bersama.Perhatiannya tertuju kepada nilai-nilai dan kepentingan-kepentingan individuorganisasi, norma-normanya, nilai-nilainya dan sumber-sumbernya. Pelayan publik harus membuat perubahan dalam kehidupan orang lain, bukan memperketatkeamanan dan berlomba di suatu pasar (pandangan NPM)Menilai kewarganegaraan dan layanan publik di atas interprenersip. Administrator tidak  boleh menganggap bahwa sumber-sumber publik adalah milik mereka. Sebaliknyamenerima tanggungjawab dan melayani publik dengan berakting sebagai pramugara,menjadi konservator organisasi publik, fasilitator dialog demokratis dan menjadikatalisator dalam perkumpulan.Penulis-penulis yang lain juga mengajak untuk kembali menuju nilai-nilai kewarganegaraandemokratis. Beberapa menyatakan bahwa administrator publik harus menjadi agen aktif untuk bentuk dan pendidikan demokratis. Contohnya King dan Stivers (1998) mengajak warga negara untuk lebih aktif dan berperan penuh, kurang keahlian akan membuatdibutuhkankannya pendekatan terhadap administrasi. Stivers (1994) mengklaim bahwaadministrator bisa menjadi lebih bertanggungjawab terhadap warga dengan cara  
mengembangkan kapasitas mendengarkan. Ini akan menolong administrator untuk mendengarkan suara yang terabaikan sehingga bisa ikut berpartisipasi. Bagaimanapun juga, NPM gagal menyediakan tempat administrasi publik dalam konteks aturan demokratis. Ahliteori demokratis seperti Box menolak ide tentang warga negara hanyalah pelanggan danmendukung cita-cita seperti kewarganegaraan, kepentingan publik, tanggungjawab sosial dandialog.Banyak ahli kewarganegaraan yang mengetahui konflik yang melekat respon nilai-nilai demokratis dan profesionalisme birokratis. Contohnya Stivers, (1994) mengatakan bahwa dalam respon administrasi publik ada problematika konsep yaitu bahwa “demokrasiakan meminta administrator-adminitrator yang responsif menjadi orang terkenal” paling tidak melalui badan pembuat undang-undang dan pimpinan eksekutif terpilih jika tidak langsungkepada rakyat.
 KONFLIK-KONFLIK ANTARA NILAI DEMOKRASI DAN BIROKRASI 
Birokrasi dimana-mana telah dikritik. Hal tersebut disebabkan oleh adanya ideologi “kanan”yang fokus terhadap kontrol dan potensi hilangnya kebebasan individu. Mises(1944)berpendapat bahwa birokratis tumbuh mewakili bahaya terhadap “istilah apa yangrakyat gunakan untuk menyebut demokrasi” tapi yang patut disalahkan disini adalah para pemimpimpinnya dan bukan birokratnya:
Demokrasi tidak dapat dilaksanakan jika warga negara yang pandai, pemimpin-pemimpinintelektual kelompok tidak membentuk pandangan mereka sendiri di atas dasar sosial,ekonomi dan kebijakan-kebijakan akan prinsip-prinsip politik. Jika warga negara berada di bawah hegemoni intelektualnya ahli-ahli birokratis maka rakyat akan terbagi ke dalam 2 kastayaitu: ahli-ahli yang berkuasa atau Brahmins dan rakyat jelata yang mudah tertipu. Kemudiankalaliman akan muncul meski apapun bentuk kata konstitusi dan undang-undang tersebut.(hal. 120)Mises menyimpulkan bahwa demokrasi konsisten dengan kebulatan tekad tapi tidak dengan kelesuanrakyat. Dia menyatakan bahwa warga negara harus memperoleh penilaian independen dalam politik fundamental dan masalah-masalah ekonomi melalui pemikiran mereka sendiri. Demokrasidigambarkan sebagai “harta yang harus di bela setiap hari” dan tidak akan mampu ditopang tanpamasalah (hal. 121). Warga negara memiliki kewajiban untuk di beritahu, diingatkan dan mampumembuat keputusan-keputusan yang rasional yang akan membantu perkembangan tujuan-tujuanmereka.Dalam hubungannya antara kegelisahan dan kebebasan untuk memilih kekuasaan para birokrat, Gruber (1987, hal. 11) mengatakan bahwa birokrasi-birokrasi mengajukan masalah kepadademokrasi dimana ketika mereka mengambil keputusan-keputusan (kebijakan publik) yang memilikisirkuit-pendek jalur-jalur elektoral dari konrol publik. Sistem ini akan meningkatkan “potensi pengambilan kebijakan pemerintah di dasarkan atas nama rakyat tapi tidak boleh dicampuri olehrakyat”. Masalah ini adalah pelajaran bagi demokrasi jika kebijakan birokratis dikontrol.Birokrasi juga digambarkan sebagai musuh rakyat (Hummel, 1977, hal. 20). Beberapa ahli berpendapat bahwa seluruh fenomena tentang profesionalisme (digolongkan kepada netralitas,undang-undang, efisiensi, kontrol, standarisasi dan hitungan) bisa menumbangkan kewarganegaraanyang aktif (pemerintah (Cooper,1984). Sebaliknya warga negara yang tidak aktif dapat meningkatkankekuasaan bagi pejabat-pejabat yang di tunjuk. Hali ini akan mewakili bahaya bagi keidealandemokratis yang tertanam dalam pendapat bahwa birokrasi-birokrasi tidak memerintahkan bagi rakyatuntuk mengikuti arah-arah yang ada tapi mereka bekerja untuk rakyat agar bisa membantumengembangkan komunitas yang lebih besar.
 
Fokus terhadap nilai-nilai keahlian tehknis dan penggolongan pengetahuan menguraikanwarga negara yang pasif secara politik. Fokus seperti ini juga mendukung persepsi bahwa warganegara hanyalah konsumen layanan publik yang dengan sabar menunggu bagian mereka. Di sisi lain,menurut Daniel Elazar ada perbedaan yang besar antara konsep konsumen sebagai penerima layanandan keidealan warga negara aktif secara politik. Konsumen memilih dan mengambil apa yang bagus bagi mereka. Warga negara berdiskusi tentang ke dua hal ini untuk menentukan aktifitas pemerintahdan memanfaatkan produk pemerintah. Pemenang kewarganegaraan demokratis yang ideal berpendapat bahwa jika terlalu keras mengidentifikasi administrasi publik dengan menggunakanresiko-resiko keahlian tehknis akan menggantikan pasar konsumen untuk warga negara dan pemerintah (Cooper, 1984).Telah di sebutkan bahwa birokrasi-birokrasi bisa menjadi anti demokratis meskipun prosesnya tidak alamiah. Beetham (1987, hal. 112) mencatat bahwa birokrasi-birokrasi dibutuhkanuntuk menjaga undang-undang demokratis. Menurut dia, birokrasi-birokrasi itu akan terpaksa jadi antidemokratis jika mereka bersikap tertutup dan eksklusif, informasinya di rahasiakan dan ketikakekuasaan organisasi digunakan untuk mengontrol dan memanipulasi. Sejumlah karakteristik initidaklah melekat pada birokrasi-birokrasi tapi akan dibutuhkan untuk melengkapi tugas-tugas spesifik yang di bentuk oleh sektor publik birokrasi itu sendiri. Kerahasiaan dan kontrol di anggap sebagi berguna untuk membentuk tugas-tugas yang berhubungan dengan keamanan nasional dan mandat-mandat yang lain. Beetham (1987, hal. 119) mengatakan:Anti demokratis bukanlah sifat dasar administrasi birokratis. Itu hanyalah kapasitas organisasidan menjadi demikian karena awalnya dirahasiakan, dan mencapai keyakinannya sendiri.Meskipun itu benar, hal tersebut hanya akan menimbulkan ilusi bahwa birokrasi bergerak sendiri ketika alasan-alasan ketertutupannya kelihatan dan dalam tugas-tugasnya ini harus diselesaikan. Banyak analisis yang bermula dari sini. Jika tidak, maka kami telah gagalmemahami mengapa birokrasi-birokrasi begitu sukses menentang usaha untuk membuatmereka terbuka dan bertanggungjawab. Kami akan disana untuk menghubungkan merekadengan kekuatan terbesar melebihi yang mereka miliki dan membuat kontribusi kami sendiriuntuk mengabadikan mitos-mitos kejantanan dan limunan (gaibnya) birokratis.
Masalah yang dihadapi antara manajemen birokratis dan nilai-nilai demokratis telahdimasukkan dalam tujuan-tujuan yang telah di perbaharui seiring dengan munculnya NPM. NPM ini menekankan manajerial nilai-nilai, jadi kritik terhadap perspertif ini telah muncul.Contohnya Terry (1993) menggambarkan aplikasi konsep interprenersip ke sektor publik adalah hal yang salah tempat, berbahaya, dan merupakan ancaman yang ancaman seriusterhadap demokrasi.
 MANAJEMEN PUBLIK YANG BARU 
Defenisi.Paradigma baru yang muncul dalam perdagangan dan nilai efisiensi dalam sebuah pemerintahan mulai menjadi sorotan dan berusaha untuk di tingkatkan. Paradigma inidigolongkan sebagai “ NPM “ yang menurut para ahli analisa ini adalah suatu konsepnormatif yang disusun ulang diseluruh lapangan administrasi publik. Komponen prinsip- prinsip NPM mencakup usaha untuk meningkatkan bentuk dan metode demi mencapai hasilyang lebih baik (Behn, 2001, Hal .24).Posisi tertinggi NPM disuguhkan dalam bentuk yang sederhana oleh Osborne danGaebler (1992, Hal 12). Mereka mengklaim bahwa jenis pemerintahan yang dikembangkan pada era industri dengan memusatkan birokrasi, bekerja dengan aturan- aturan dan rentetan perintah secara hirarki tentunya tidak akan berjalan dengan baik. Mereka mengira bahwa birokrasi – birokrasi publik yang tidak berjalan dengan baik berarti gagal membuat perubahan ketika dunia mulai berubah. Birokrasi yang dibenyuk pada tahun 1930 dan 1940an kelihatan sudah ketinggalan zaman tidak bisa mengikuti perubahan arus memilikiinformasi dan pengetahuan intensif masyarakat sekarang.Charles Goodsell (1993) menyimpulakan argumen – argumen Osborne dan Gaebler.Menurut Goodsell masal pokok bagi Osborne dan Gaebler adalah bukan apa yang akandikerjakan pemerintah namun bagaimana mengerjakannya untuk mendesain ulang pemerintah harus bisa beradaptasi, responsif, efesien dan efektif, pemerintah harus mampumenghasilkan barang dan jasa dengan kualitas bagus. Dan harus dibimbing dengan bujukan, bukan dengan perintah, bertanggungjawab terhadap klien, menguatkan klien serta lebih profesional dalam dunia perdagangan. Goodsell (1993) memperetanyakan ide-idefundamental administrasi publik yang baru. Dia mengklaim bahwa alternatif bijaksana untuk membentuk ulang pemerintahan harus merujuk ke institusi fundamental Amerika. Rujukanini memerlukan nilai-nilai negarawan, konstitusional dan pemerintahan demokratis. Untuk menyelesaikannya, masyarakat harus memahami bahwa mereka berada di bawah pemerintahan Amerika melalui pilihan representatif mereka sendiri. Mandat konstitusi danhukum yang lain harus memiliki arah yang lebih kecil agar pelayanan dapat ditingkatkan.Menurut Goodsell, pemerintahan harus berjalan sesuai dengan konstitusi dan undang-undangyang ada dan bukan dengan argumen-argumen yang memiliki misi yang sama.Sepuluh prinsip menggambarkan bagaimana transformasi dari bentuk hirarki yang lamamenuju bentuk perdagangan akan berlangsung. Osborne dan Gablaer (1992, hal. xvii)menawarkan 10 prinsip ini (“map”) sebagai “draf kasar” dan bukan kata terkhir untuk melakukan perombakan pemerintahan. Mereka mengatakan “kami melihat sekitar danmengembangkan peta kami, melihat kesuksesan sektor organisasi publik yang muncul sedikitdemi sedikit, semua melalui negara ini . . .kami sebagai penulis tidak menemukan ide-ide baru yang banyak dan menyatukan gagasan dan pengalaman orang lai.” Ini mengenai merekayang melakukan perombakan dalam pemerintahan. Mereka adalah pahlawan dalam ceritaini.”Osborne dan Gablaer menyatakan bahwa peningkatan pemerintahan di masa depantergantung dengan bagaiman keadaanya saat ini. Sepuluh prinsip ini akan didiskusikan di bawah ini yang mana memberikan solusi bagi masalah-masalah pemerintahan dan tujuanmereka berdua adalah untuk membantu perubahan institusi publik “dari keadaan birokrasiyang vakum menuju yang inovatif, flexibel dan organisasi-organisasi responsif” (hal. xxii).Pemerintahan katalitis: mengemudi lebih baik daripada mengayuh. Usaha kepemerintahanterus meningkat dan akan mengalami perubahan dari mengayuh. Mengemudi diartikansebagai gerak pergeseran alternatif. Yang mngemudi akan menetapkan masa depanmereka sendiri. Sementara yang masih mengayuh akan tetap menghadapi kenyataankarena mempertahankan asumsi tradisional mereka. Gaya mengemudi dalam sebuahorganisasi akan mendapatkan metode terbaik dalam mencapai tujuan-tujuan mereka.Cara inovatif yang dilakuka\n oleh karyawan diantaranya franchise, kontrak,kerjasama,sukarelawan dan voucer.Komunitas milik pemerintah. Memberi kekuasaan lebih baik daripada melayani. Usah pemerintah menggeser pemilik insiatif untuk diarahka menjdi sebuah komunitas.Mereka memberi kuasa kepada warga negara dan tetangga kelompok mereka untuk menjadi sumber informasi bagi solusi yamng mereka butuhkan. Mereka mengganti program yang difokuskan pada pengumpulan klien menjadi warga negara yangmemiliki hak.Pemerintahan yang kompetitif. Membuat kompetisi dalam pelayanan. Pemerintah