Terdapat dua nilai dasar yang dikembangkan dalam UUD 1945 berkenaan dengan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia , yaitu sebagai berikut :
- Nilai Unitaris, yang diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak mempunyai kesatuan pemerintahan lain di dalamnya yang bersifat negara ("Eenheidstaat"), yang berarti kedaulatan yang melekat pada rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia tidak akan terbagi di antara kesatuan-kesatuan pemerintahan; dan
- Nilai dasar Desentralisasi Teritorial, dari isi dan jiwa pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 beserta penjelasannya sebagaimana tersebut di atas maka jelaslah bahwa Pemerintah diwajibkan untuk melaksanakan politik desentralisasi dan dekonsentrasi di bidang ketatanegaraan. [1]
Dikaitkan dengan dua nilai dasar tersebut di atas, penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia berpusat pada pembentukan daerah-daerah otonom dan penyerahan/pelimpahan sebagian kekuasaan dan kewenangan pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sebagian sebagian kekuasaan dan kewenangan tersebut. Adapun titik berat pelaksanaan otonomi daerah adalah pada Daerah Tingkat II (Dati II)[2]dengan beberapa dasar pertimbangan[3]:
- Dimensi Politik, Dati II dipandang kurang mempunyai fanatisme kedaerahan sehingga risiko gerakan separatisme dan peluang berkembangnya aspirasi federalis relatif minim;
- Dimensi Administratif, penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat relatif dapat lebih efektif;
- Dati II adalah daerah "ujung tombak" pelaksanaan pembangunan sehingga Dati II-lah yang lebih tahu kebutuhan dan potensi rakyat di daerahnya.
Atas dasar itulah, prinsip otonomi yang dianut adalah:
- Nyata, otonomi secara nyata diperlukan sesuai dengan situasi dan kondisi obyektif di daerah;
- Bertanggung jawab, pemberian otonomi diselaraskan/diupayakan untuk memperlancar pembangunan di seluruh pelosok tanah air; dan
- Dinamis, pelaksanaan otonomi selalu menjadi sarana dan dorongan untuk lebih baik dan maju
Aturan Perundang-undangan
Beberapa aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pelaksanaan Otonomi Daerah:
- Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah
- Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
- Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah
- Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
- Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
- Perpu No. 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
- Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Pelaksanaan Otonomi Daerah di Masa Orde Baru
Sejak tahun 1966, pemerintah Orde Baru berhasil membangun suatu pemerintahan nasional yang kuat dengan menempatkan stabilitas politik sebagai landasan untuk mempercepat pembangunan ekonomi Indonesia. Politik yang pada masa pemerintahan Orde Lama dijadikan panglima, digantikan dengan ekonomi sebagai panglimanya, dan mobilisasi massa atas dasar partai secara perlahan digeser oleh birokrasi dan politik teknokratis. Banyak prestasi dan hasil yang telah dicapai oleh pemerintahan Orde Baru, terutama keberhasilan di bidang ekonomi yang ditopang sepenuhnya oleh kontrol dan inisiatif program-program pembangunan dari pusat. Dalam kerangka struktur sentralisasi kekuasaan politik dan otoritas administrasi inilah, dibentuklah Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Mengacu pada UU ini, Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban Daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.[4] Selanjutnya yang dimaksud dengan Daerah Otonom, selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu yang berhak, berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[5]
Undang-undang No. 5 Tahun 1974 ini juga meletakkan dasar-dasar sistem hubungan pusat-daerah yang dirangkum dalam tiga prinsip:
- Desentralisasi, penyerahan urusan pemerintah dari Pemerintah atau Daerah tingkat atasnya kepada Daerah menjadi urusan rumah tangganya;[6]
- Dekonsentrasi, pelimpahan wewenang dari Pemerintah atau Kepala Wilayah atau Kepala Instansi Vertikal tingkat atasnya kepada Pejabat-pejabat di daerah;[7] dan
- Tugas Pembantuan (medebewind), tugas untuk turut serta dalam melaksanakan urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada Pemerintah Daerah oleh Pemerintah oleh Pemerintah Daerah atau Pemerintah Daerah tingkat atasnya dengan kewajiban mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya.[8]
Dalam kaitannya dengan Kepala Daerah baik untuk Dati I (Propinsi) maupun Dati II (Kabupaten/Kotamadya), dicalonkan dan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang calon yang telah dimusyawarahkan dan disepakati bersama antara Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/Pimpinan Fraksi-fraksi dengan Menteri Dalam Negeri,[9] untuk masa jabatan 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya,[10] dengan hak, wewenang dan kewajiban sebagai pimpinan pemerintah Daerah yang berkewajiban memberikan keterangan pertanggungjawaban kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sekurang-kurangnya sekali setahun, atau jika dipandang perlu olehnya, atau apabila diminta oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serta mewakili Daerahnya di dalam dan di luar Pengadilan.[11]
Berkaitan dengan susunan, fungsi dan kedudukan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, diatur dalam Pasal 27, 28, dan 29 dengan hak seperti hak yang dimiliki oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat (hak anggaran; mengajukan pertanyaan bagi masing-masing Anggota; meminta keterangan; mengadakan perubahan; mengajukan pernyataan pendapat; prakarsa; dan penyelidikan),[12] dan kewajiban seperti a) mempertahankan, mengamankan serta mengamalkan PANCASILA dan UUD 1945; b)menjunjung tinggi dan melaksanakan secara konsekuen Garis-garis Besar Haluan Negara, Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat serta mentaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku; c) bersama-sama Kepala Daerah menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah dan peraturan-peraturan Daerah untuk kepentingan Daerah dalam batas-batas wewenang yang diserahkan kepada Daerah atau untuk melaksanakan peraturan perundangundangan yang pelaksanaannya ditugaskan kepada Daerah; dan d) memperhatikan aspirasi dan memajukan tingkat kehidupan rakyat dengan berpegang pada program pembangunan Pemerintah.[13]
Dari dua bagian tersebut di atas, nampak bahwa meskipun harus diakui bahwa UU No. 5 Tahun 1974 adalah suatu komitmen politik, namun dalam prakteknya yang terjadi adalah sentralisasi (baca: kontrol dari pusat) yang dominan dalam perencanaan maupun implementasi pembangunan Indonesia. Salah satu fenomena paling menonjol dari pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1974 ini adalah ketergantungan Pemda yang relatif tinggi terhadap pemerintah pusat.
Pelaksanaan Otonomi Daerah setelah Masa Orde Baru
Upaya serius untuk melakukan desentralisasi di Indonesia pada masa reformasi dimulai di tengah-tengah krisis yang melanda Asia dan bertepatan dengan proses pergantian rezim (dari rezim otoritarian ke rezim yang lebih demokratis). Pemerintahan Habibie yang memerintah setelah jatuhnya rezim Suharto harus menghadapi tantangan untuk mempertahankan integritas nasional dan dihadapkan pada beberapa pilihan yaitu[14]:
- melakukan pembagian kekuasaan dengan pemerintah daerah, yang berarti mengurangi peran pemerintah pusat dan memberikan otonomi kepada daerah;
- pembentukan negara federal; atau
- membuat pemerintah provinsi sebagai agen murni pemerintah pusat.
Pada masa ini, pemerintahan Habibie memberlakukan dasar hukum desentralisasi yang baru untuk menggantikan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974, yaitu dengan memberlakukan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Beberapa hal yang mendasar mengenai otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang sangat berbeda dengan prinsip undang-undang sebelumnya antara lain :
- Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 pelaksanaan otonomi daerah lebih mengedepankan otonomi daerah sebagai kewajiban daripada hak, sedang dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 menekankan arti penting kewenangan daerah dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat melalui prakarsanya sendiri.
- Prinsip yang menekankan asas desentralisasi dilaksanakan bersama-sama dengan asas dekonsentrasi seperti yang selama ini diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tidak dipergunakan lagi, karena kepada daerah otonom diberikan otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Hal ini secara proporsional diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Di samping itu, otonomi daerah juga dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang juga memperhatikan keanekaragaman daerah.
- Beberapa hal yang sangat mendasar dalam penyelenggaraan otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, adalah pentingnya pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas mereka secara aktif, serta meningkatkan peran dan fungsi Badan Perwakilan Rakyat Daerah. Oleh karena itu, dalam Undang-undang ini otonomi daerah diletakkan secara utuh pada daerah otonom yang lebih dekat dengan masyarakat, yaitu daerah yang selama ini berkedudukan sebagai Daerah Tingkat II, yang dalam Undang-undang ini disebut Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.
- Sistem otonomi yang dianut dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab, dimana semua kewenangan pemerintah, kecuali bidang politik luar negeri, hankam, peradilan, moneter dan fiskal serta agama dan bidang- bidang tertentu diserahkan kepada daerah secara utuh, bulat dan menyeluruh, yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
- Daerah otonom mempunyai kewenangan dan kebebasan untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat. Sedang yang selama ini disebut Daerah Tingkat I atau yang setingkat, diganti menjadi daerah propinsi dengan kedudukan sebagai daerah otonom yang sekaligus wilayah administrasi, yaitu wilayah kerja Gubernur dalam melaksanakan fungsi-fungsi kewenangan pusat yang didelegasikan kepadanya.
- Kabupaten dan Kota sepenuhnya menggunakan asas desentralisasi atau otonom. Dalam hubungan ini, kecamatan tidak lagi berfungsi sebagai peringkat dekonsentrasi dan wilayah administrasi, tetapi menjadi perangkat daerah kabupaten/kota. Mengenai asas tugas pembantuan dapat diselenggarakan di daerah propinsi, kabupaten, kota dan desa. Pengaturan mengenai penyelenggaraan pemerintahan desa sepenuhnya diserahkan pada daerah masing-masing dengan mengacu pada pedoman yang ditetapkan oleh pemerintah.
- Wilayah Propinsi meliputi wilayah laut sepanjang 12 mil dihitung secara lurus dari garis pangkal pantai, sedang wilayah Kabupaten/Kota yang berkenaan dengan wilayah laut sebatas 1/3 wilayah laut propinsi.[15]
- Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan perangkat daerah lainnya sedang DPRD bukan unsur pemerintah daerah. DPRD mempunyai fungsi pengawasan, anggaran dan legislasi daerah. Kepala daerah dipilih dan bertanggung jawab kepada DPRD. Gubernur selaku kepala wilayah administratif bertanggung jawab kepada Presiden.
- Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan persetujuan DPRD sesuai pedoman yang ditetapkan Pemerintah, dan tidak perlu disahkan oleh pejabat yang berwenang.
- Daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangannya lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah, daerah, daerah yang tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah dapat dihapus dan atau digabung dengan daerah lain. Daerah dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu daerah, yang ditetapkan dengan undang-undang.
- Setiap daerah hanya dapat memiliki seorang wakil kepala daerah, dan dipilih bersama pemilihan kepala daerah dalam satu paket pemilihan oleh DPRD.
- Daerah diberi kewenangan untuk melakukan pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun, pendidikan dan pelatihan pegawai sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah, berdasarkan nama, standar, prosedur yang ditetapkan pemerintah.
- Kepada Kabupaten dan Kota diberikan otonomi yang luas, sedang pada propinsi otonomi yang terbatas. Kewenangan yang ada pada propinsi adalah otonomi yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota, yakni serangkaian kewenangan yang tidak efektif dan efisien kalau diselenggarakan dengan pola kerjasama antar Kabupaten atau Kota. Misalnya kewenangan di bidang perhubungan, pekerjaan umum, kehutanan dan perkebunan dan kewenangan bidang pemerintahan tertentu lainnya dalam skala propinsi termasuk berbagai kewenangan yang belum mampu ditangani Kabupaten dan Kota.
- Pengelolaan kawasan perkotaan di luar daerah kota dapat dilakukan dengan cara membentuk badan pengelola tersendiri, baik secara intern oleh pemerintah Kabupaten sendiri maupun melalui berkerjasama antar daerah atau dengan pihak ketiga. Selain DPRD, daerah juga memiliki kelembagaan lingkup pemerintah daerah, yang terdiri dari Kepala Daerah, Sekretariat Daerah, Dinas-Dinas Teknis Daerah, Lembaga Staf Teknis Daerah, seperti yang menangani perencanaan, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, pengawasan dan badan usaha milik daerah. Besaran dan pembentukan lembaga-lembaga itu sepenuhnya diserahkan pada daerah. Lembaga pembantu Gubernur, Pembantu Bupati/Walikota, Asisten Sekwilda, Kantor Wilayah dan Kandep dihapus.
- Kepala Daerah sepenuhnya bertanggung jawab kepada DPRD, dan DPRD dapat meminta Kepala Daerahnya berhenti apabila pertanggungjawaban Kepala daerah setelah 2 (dua) kali tidak dapat diterima oleh DPRD.
Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah atau KPPOD adalah lembaga independen pemantauan pelaksanaan otonomi daerah yang lahir dari sebuah pemikiran bahwa pelaksanaan otonomi daerah sejak tanggal 1 Januari 2001 sebagaimana di atur dalam Undang Undang No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang Undang No.25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, perlu dicermati terus menerus demi keberhasilannya demi terwujudnya keadilan dan kemakmuran rakyat di semua bagian negara berdasarkan potensi dan keanekaragamannya tanpa meninggalkan prinsip kesatuan Republik Indonesia.
Atas pertimbangan itu, KPEN-KADIN, CSIS dan LPEM-FEUI ingin ikut memberikan kontribusi pemikiran dan upaya untuk mengoptimalkan tujuan pelaksanaan otonomi daerah. Keinginan ini diawali dengan penyelenggaraan Diskusi Nasional "Menyelamatkan Otonomi Daerah" tanggal 7 Desember 2000 yang dihadiri kalangan bisnis, akademisi, pemerintah pusat, pemerintah propinsi, pemerintah daerah, DPRD, media masa dan pihak pihak lain yang mempunyai perhatian mengenai otonomi daerah. Kebutuhan itu terasa sebab munculnya berbagai permasalahan, seperti: disharmoni produk produk hukum Nasional dan Daerah, ketidakjelasan kebijakan fiskal pusat-daerah, lemahnya koordinasi pemerintah Pusat dan Daerah (Propinsi & Kabupaten/Kota), koordinasi kekuasaan Eksekutif dengan Legislatif yang kontraproduktif, lemahnya sinergi kebijakan pembangunan di Daerah dan antar Daerah, dan setumpuk permasalahan lainnya.
Sementara itu, dalam pelaksanaan otonomi daerah telah muncul berbagai kebijakan daerah (pajak, retribusi, dan lain-lain) yang bertentangan dengan prinsip prinsip dasar mekanisme ekonomi. Bahaya dari perkembangan ini adalah timbulnya ekonomi berbiaya tinggi. Berbagai hambatan perdagangan antar daerah dapat menghancurnya keutuhan ekonomi nasional dan menumpulkan daya saing internasional ekonomi Indonesia. Pada gilirannya semua ini akan menghambat investasi dan pada akhirnya akan membawa dampak negatif bagi upaya menciptakan lapangan kerja dan mensejahterakan rakyat.
Melalui berbagai diskusi persiapan maka pada tanggal 1 Maret 2001 secara resmi telah direalisasikan pembentukan Yayasan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) atau Regional Autonomy Watch.
Kaltim Termasuk Sukses Atasi Hambatan Otonomi Daerah
Hasil Penelitian Tim Indenpenden Otonomi Daerah (Otda) tahun 2004-2008 menyatakan, Kaltim masuk enam besar katagori provinsi yang dapat mengatasi hambatan dan tantangan di era Otonomi Daerah.Demikian dikatakan Gubernur Kaltim, Awang Faroek Ishak pada Malam Ramah Tamah Gubernur Kaltim dengan Komisi III DPR RI di Lamin Etam Samarinda. Posisi Kaltim berada diurutan kedua setelah Jakarta dilanjutkan Sulawesi Utara, Sumatera Barat, Kalimantan Tengah dan Riau. Penilaian keberhasilan tersebut didasarkan pada index pembangunan manusia, tata kelola pemerintahan yang baik, intensitas kemiskinan dan keberhasilan tata kelola ekonomi serta faktor penunjang lainnya. Menurut Awang Faroek, masalah yang mendasar di Kaltim dan harur segera diatasi diantaranya kemiskinan, ketimpangan antar daerah, pengangguran, infrastruktur dan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang rendah. Untuk mengatasi hal itu, Pemerintah Kaltim telah mencanangkan grand design, bagaimana memperbaiki infrastruktur, peningkatan SDM dan peningkatan pertanian dalam arti luas. “Kita telah menetapkan 3 prioritas pembangunan yaitu pembangunan infrastuktur, peningkatan SDM dan pertanian dalam arti luas,” tambahnya. “Pembangunan infrastuktur Kaltim tahun ini memang belum tuntas, namun tahun 2010 Pemerintah Pusat telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp.987 milyar untuk menuntaskan jalan trans Kaltim,” terang Awang. Lebih lanjut Awang juga mengungkapkan beberapa permasalahan selain infrastruktur yang perlu mendapat perhatian yakni masalah penyalahgunaan narkoba di Kabupaten/Kota dan persiapan pelaksanaan Pemilu 9 April 2009. Permasalahan penyalahgunaan narkoba di Kaltim cukup tinggi, permintaan Bupati/Walikota se Kaltim agar Lembaga Permasyarakatan (Lapas) kasus-kasus pidana tidak digabungkan dengan kasus narkoba. Bupati/Walikota siap menyediakan lahan untuk pembangunan Lapas yang baru. “Saya berharap Komisi III dapat membantu menyelesaikan permasalahan –permasalahan yang ada di Kaltim,” harap Awang. Sementara itu, Ketua Tim Rombongan Komisi III DPR RI, Moh. Nurdin mengharapkan Pemilu di Kaltim dapat berjalan lancar dan akan segera berkoordinasi dengan Komisi lainnya di DPR RI terkait dengan pemecahan permasalahan-permasalahan yang dihadapi Kaltim. “Permasalahan-permasalahan yang dihadapi daerah kami inventarisir dan akan segera kami sampaikan juga ke komisi-komisi lainnya di DPR RI,” kata Nurdin.(vivaborneo/rita)Otonomi Daerah Masih Hadapi Kendala
Hal itu diungkapkan Gubernur Kaltim dalam sambutannya dibacakan Asisten Administrasi Ir. Menurut Gubernur, hambatan yang dirasakan daerah dalam melaksanakan otonomi secara nyata dan bertanggung jawab bukan semata-mata berasal dari internal daerah tersebut, namun dipengaruhi juga oleh faktor eksternal. “Faktor eksternal seringkali dijumpai adanya berbagai macam kebijakan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat (departemen teknis), Kadang kala bertentangan dengan semangat dan jiwa Otonomi Daerah masih setengah hati,” kata Ibnu. Hal yang paling nyata ujarnya, adalah penanganan urusan pertanahan sejak ditetapkannya UU Nomor 22 Tahun 1999 dan direvisi dengan UU Nomor 32 Tahun 2004, hingga saat ini penanganan urusan pertanahan masih menjadi kewenangan Pemerintah Pusat (BPN) sehingga menyulitkan bagi daerah dalam merumuskan kebijakan pembangunan di bidang pertanahan. Untuk itu, agar terjadi sinergi yang harmonis antara level Pemerintahan dalam merumuskan dan menyusun Peraturan Pemerintah berkaitan dengan daerah, maka sudah selayaknya Pemerintah Daerah dilibatkan juga dalam merumuskannya. “Hal tersebut nampaknya sudah diakomodir oleh Pemerintah Pusat, namun perlu ditingkatkan lagi ke depan termasuk yang berkaitan dengan pemberian pelayanan publik kepada masyarakat,” jelas Ibnu. Sehubungan dengan itu, Ibnu mengatakan perlunya upaya pengembangan kapasitas, sehingga akan terjadi perubahan yang lebih baik pada semua tingkatan baik individu, kelembagaan maupun sistem atau aturan main. Diharapkan, dengan lokakarya itu, akan dapat melahirkan perencanaan yang bisa diaplikasikan dalam tugas pemerintahan sehari-hari, baik di level Pemerintah Propinsi maupun Kabupaten dan Kota bahkan Kecamatan, Kelurahan dan Desa. Sementara itu Ketua Panitia Pelaksana yang juga Kepala Biro Organisasi, Drs. Paini Hatyono melaporkan, tujuan dilaksanakannya lokakarya ini untuk membangun arah program kerjasama pengembangan kapasitas pemerintah daerah, terutama untuk tahun 2006. Ia menjelaskan karena terbatasnya waktu pertemuan yang hanya dua hari, maka lokakarya ini akan membahas hal-hal yang bersifat umum, sedangkan hal-hal yang bersifat khusus akan dibawa pada seri lokakarya perencanaan berikutnya yang dilakukan di setiap kabupaten/kota. Dilaporkan pula, peserta lokakarya ini diikuti Asisten III, Asisten I, Biro Hukum, Biro Organisasi, Biro Keuangan, Biro Pemerintahan, BKD, Bappeda, Badan Diklat Kaltim dan Wakil penyelia jasa layanan potensial. Termasuk pula Tim teknis pengembangan kapasitas, Bappeda dan wakil stakeholder Pemkab Kubar, Kukar dan Kutim dengan fasilitator Ade Cahyat dari Depdagri, Syahrono dan Dr. Manfred Poppe (GTZ) dan Drs. Tuparman (Biro Organisasi Prop. Kaltim). (hmsp6)
Otonomi Daerah Harus Tetap Dikawal
SAMARINDA - Otonomi daerah yang digulirkan pasca gerakan reformasi 1997 lalu telah membawa perubahan yang baik pada tataran kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Namun diakui masih terjadi banyak kekurangan, salah satunya dalam hal pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Karena itu, pembinaan atas penyelenggaraan Pemerintah Daerah menjadi hal yang sangat penting untuk mencapai cita-cita otonomi daerah mendekatkan pelayanan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Penegasan tersebut disampaikan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi dalam sambutan yang dibacakan Gubernur Kaltim H Awang Faroek Ishak pada Upacara Peringatan Hari Otonomi Daerah ke XIV di halaman Kantor Gubernur, Senin (26/4). Upacara diikuti para pegawai di lingkungan Pemprov Kaltim dan mahasiswa dari berbagai universitas di Samarinda.
"Otonomi daerah pada dasarnya mempunyai dua tujuan utama yaitu tujuan demokrasi dan tujuan kesejahteraan. Tujuan demokrasi memposisikan pemerintahan daerah sebagai instrument pendidikan politik di tingkat lokal untuk mempercepat terwujudnya masyarakat madani atau civil society. Tujuan kesejahteraan mengisyaratkan pemerintahan daerah untuk menyediakan pelayanan publik bagi masyarakat lokal secara efektif, efisien dan ekonomis," kata Awang Faroek.
Dalam kepentingan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), pemerintah memiliki peran sangat kuat untuk menjaga kepentingan nasional dan pemerintah memiliki kewenangan untuk menjamin bahwa kebijakan nasional dapat dilaksanakan secara efektif di seluruh wilayah Indonesia.
Penyerahan urusan pemerintahan yang sebagian besar diberikan kepada pemerintah kabupaten/kota menuntut pemerintah untuk memastikan bahwa kabupaten/kota mengatur dan mengurus urusan tersebut sesuai Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK).
Sehubungan dengan hal tersebut, pemerintah telah menerbitkan PP No.19 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang serta Kedudukan Keuangan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah di Wilayah Provinsi. Dalam kedudukan sebagai Wakil Pemerintah, Gubernur mempunyai wewenang antara lain: mengundang rapat bupati/walikota beserta perangkat daerah dan pimpinan instansi vertikal dan meminta kepada bupati/walikota beserta perangkat daerah dan pimpinan instansi vertikal untuk segera menangani permasalahan penting dan/atau mendesak yang memerlukan penyelesaian cepat. Kewenangan lain yang juga diatur dalam PP No.19 2010 itu adalah memberikan penghargaan atau sanksi kepada bupati/walikota terkait dengan kinerja, pelaksanaan kewajiban dan pelanggaran sumpah/janji, menetapkan sekretaris daerah kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan-perundang-undangan, mengevaluasi rancangan peraturan daerah tentang Anggaran Pendapatan Belanja Daerah, pajak daerah, retribusi daerah, dan tata ruang wilayah kabupaten/kota, memberikan persetujuan tertulis terhadap penyidikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kabupaten/kota, menyelesaikan perselisihan dalam penyelenggaraan fungsi pemerintahan antar kabupaten/kota dalam suatu provinsi serta melantik kepala instansi vertikal dari kementerian dan lembaga pemerintah non-kementerian yang ditugaskan di wilyah provinsi yang bersangkutan.
"Wewenang gubernur tersebut tidak mengurangi wewenang bupati/walikota sebagai kepala daerah otonom, tetapi desentralisasi tetap harus dijamin dilaksanakan secara penuh sesuai amanat konstitusi Negara," tegas Awang Faroek. (sul/hsmprov)
Melihat Wajah Otonomi Daerah Dalam Pemekaran Wilayah Kalimantan Timur
Sembilan tahun sejak dicanangkan otonomi daerah pada Januari 2001 ternyata melahirkan dua wajah daerah pemekaran Kaltim, daerah berpotensi maju dan daerah berpotensi mundur. Daerah potensi maju ditunjukkan dari pertumbuhan indeks sosial ekonomi yang cenderung positif, sedangkan daerah potensi mundur terlihat dari pertumbuhan indeks sosial ekonomi yang cenderung negatif atau melambat. Kabupaten dan kota di Provinsi Kalimantan Timur menjadi contoh menarik bagi dua model daerah ini. Kabupaten Kutai, yang setelah mekar berubah nama menjadi Kutai Kartanegara, adalah daerah berpotensi mundur. Padahal, Kabupaten Kutai Kartanegara dan tiga daerah pemekarannya (Kutai Timur, Kutai Barat, dan Kota Bontang) termasuk wilayah paling kaya di Indonesia. Salah satu indikatornya, nilai kegiatan ekonomi keempat wilayah tersebut. Kegiatan ekonomi keempat daerah ini sedemikian besar sehingga jika disatukan nilainya jadi Rp 205 triliun, atau 65 persen dari kegiatan perekonomian provinsi Kaltim atau 4,1 persen dari PDB nasional! Bandingkan itu dengan nilai kegiatan ekonomi Kabupaten Bulungan dengan empat daerah pemekarannya (Malinau, Nunukan, Tana Tidung, dan Kota Tarakan) hanya membukukan Rp 12 triliun, jauh di bawah nilai yang diperoleh wilayah Kutai dan pemekarannya. Daerah berpotensi mundur Sudah menjadi pengetahuan umum, wilayah Kutai dianugerahi berbagai sumber daya berlimpah, mulai dari kayu hutan, minyak dan gas, kelapa sawit, hingga—kini—batu bara. Sejak masa Orde Baru berkuasa, wilayah ini sudah menjadi lahan tambang uang bagi negara. Saat ini, dengan segala cerita kerusakan lingkungan dan penderitaan turunannya, konsesi pertambangan batu bara besar-kecil bertebaran di seantero wilayah Kutai. Namun, di tengah berkelimpahannya sumber daya itu, ada kecenderungan daerah ini justru memiliki potensi kemunduran dilihat dari indeks sosial ekonominya (lihat peta). Tidak terlalu sulit bagi awam menemukan simptom persoalan wilayah ini. Dalam perjalanan sepanjang Bontang-Sangatta, di kiri kanan jalan hanya terhampar padang ilalang dan tegakan-tegakan pohon yang hangus terbakar. Memasuki Sangatta, ibu kota Kutai Timur, tim Kompas menemui suasana kota yang panas dan berdebu. Dari salah satu gardu pandang milik PT Kaltim Prima Coal (KPC), terlihat deru truk besar lalu lalang mengangkut batu bara. Demikian juga saat memasuki wilayah Taman Nasional Kutai, Kota Bontang, hamparan hutan dengan pohon-pohon besar selayaknya sebuah taman nasional tak ditemui. Jajak pendapat yang dilakukan terhadap 365 responden di 14 kabupaten kota di Kaltim juga mengungkap kecenderungan ketidakpuasan responden yang berdomisili di Kutai Kartanegara dan Bontang dibandingkan mereka yang berwilayah di perkotaan lainnya. Program peningkatan pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur memang baru dapat dirasakan oleh segelintir penduduk, terutama daerah perkotaan, seperti Samarinda, Balikpapan, Tarakan, dan Bontang. Pada jarak sekitar 65 kilometer dari Sangatta, di Desa Tepian Langsat dan Keraitan, sama sekali belum terjamah aliran listrik. Kalaupun ada listrik, itu adalah genset swadaya masyarakat. Demikian pula masalah pendidikan SDM yang menjadi momok karena banyaknya penduduk lokal yang belum dapat diserap oleh perusahaan perkebunan ataupun pertambangan. Karakter industri pertambangan batu bara yang padat modal dan keahlian membuat kebanyakan pemuda lokal menjadi sekadar pekerja kasar, seperti sopir, operator, atau buruh. Sementara tenaga ahli ataupun tenaga administrasi kebanyakan didatangkan dari luar Kalimantan, terutama Jawa. Wilayah ini bukannya tak memerhatikan kemajuan wilayah. Di bawah kepemimpinan H Syaukani Hasan Rais, mantan bupati Kabupaten Kutai Kartanegara, pernah digelontorkan modal besar didukung program komprehensif berupa Gerakan Pengembangan dan Pemberdayaan Kutai (Gerbang Dayaku). Program ini terkenal dengan suntikan dana sebesar Rp 1 miliar-Rp 2 miliar ke setiap desa di Kutai Kartanegara. Daerah berpotensi maju Pemandangan terlihat berbeda ketika Kompas memasuki Kota Tarakan. Kota ini merupakan wilayah pemekaran dari Kabupaten induk Bulungan yang kebetulan memang sudah menjadi wilayah otonom sejak tahun 1997. Penataan kota tampak rapi, bersih, ditambah taman kota yang dilengkapi fasilitas modern, seperti area bersinyal (hotspot), hutan kota sebagai tempat serapan air, dan hutan mangrove yang berfungsi sebagai paru-paru kota yang bahkan dihuni oleh 20-an bekantan (sejenis kera besar). Kenyamanan kota terasa hingga saat malam hari. Di provinsi yang masih mengalami defisit pasokan listrik ini, penerangan jalan Kota Tarakan sangat memadai. Setiap sudut kota ada terang benderang untuk menunjang kegiatan bisnis. Maklum, konon ini juga peninggalan Jusuf SK, mantan Wali Kota Tarakan periode 1998-2009 yang dijuluki ”Wagilam, Walikota Gila Lampu”. Sulit disangkal, Kabupaten Bulungan merupakan contoh kabupaten induk dan wilayah pemekaran yang berpotensi maju. Sebagian wilayah belum lama mekar seperti Kabupaten Kabupaten Tana Tidung yang baru otonom tahun 2007. Hal ini diperkuat juga dengan gambaran pertumbuhan Indeks Pembangunan Manusia tahun 2002-2008 di mana pertumbuhan IPM Kabupaten Kutai Kartanegara (6,2 persen) masih kalah cepat dibanding Kabupaten Bulungan (6,9 persen). Dilihat dari nilai setiap wilayah, Bulungan mampu bergerak lebih cepat dibanding wilayah Kutai. Pertumbuhan IPM wilayah Bulungan yang meliputi Bulungan, Malinau, Nunukan, Tana Tidung, dan Kota Tarakan berkisar 5,1-12,8 persen. Sedangkan wilayah Kutai yang meliputi Kutai Kartanegara, Kutai Timur, Kutai Barat, dan Kota Bontang yang berkisar 4,8-7,1 persen. Indikator lainnya yang bisa digunakan untuk melihat perbandingan kinerja aparat birokrasi daerah adalah perbedaan hasil opini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap wilayah tersebut. Terhadap laporan APBD tahun 2008 Kabupaten Kutai Kartanegara, BPK tidak memberikan pendapat (TMP) atau dianggap disclaimer sebagaimana terhadap Kabupaten Kutai Timur. Adapun untuk Kabupaten Kutai Barat dinilai tidak wajar (TW) dan Kota Bontang dinilai wajar dengan pengecualian (WDP). Bandingkan penilaian ini dengan wilayah Bulungan. BPK memberikan penilaian wajar dengan pengecualian terhadap Kabupaten Nunukan dan Kota Tarakan. Sedangkan terhadap Kabupaten Bulungan dan Malinau dinilai tidak wajar APBD tahun 2008. Penilaian itu berdasarkan tiga hal, yaitu kelemahan sistem pengendalian internal, ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan, dan nilai penyerahan aset. Aspek sistem pengendalian internal terbagi menjadi akuntansi dan pelaporan, pelaksanaan APBD, dan kelemahan struktur pengendalian internal. Kasus terbanyak terjadi di Kabupaten Kutai Timur (15 kasus), Kutai Barat (9 kasus), dan Kutai Kartanegara (8 kasus). Wilayah Bulungan sebagian besar merupakan daerah pedalaman dengan batas garis perbatasan dengan negara Malaysia. Karena infrastruktur lebih bagus di Malaysia, penduduk setempat lebih sering berkunjung ke ”seberang”. Bahkan, penduduk di Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan, lebih banyak bertransaksi dengan mata uang ringgit. Karena merasa kurang diperhatikan, konon menjadi pemicu munculnya keinginan pembentukan provinsi baru, Kalimantan Utara. Pendidikan diutamakan Di sisi lain, pembangunan sumber daya manusia melalui pendidikan tampaknya diutamakan oleh wilayah Bulungan. Contohnya terlihat di Kota Tarakan, di mana pembangunan sebuah sekolah bisa menelan dana Rp 20 miliar. Eloknya, semua bangunan sekolah dirancang nyaman dan modern berkonstruksi dua lantai. Otonomi daerah adalah suatu proses pembelajaran yang terus-menerus bagi seluruh pemangku kepentingan di Kaltim.Pemerintahan daerah di Indonesia
Indonesia adalah sebuah negara yang wilayahnya terbagi atas daerah-daerah Provinsi. Daerah provinsi itu dibagi lagi atas daerah Kabupaten dan daerah Kota. Setiap daerah provinsi, daerah kabupaten, dan daerah kota mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.Pembentukan dan Penghapusan
Pembentukan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan daerah kota ditetapkan dengan undang-undang. Pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih. Daerah dapat dihapus dan digabung dengan daerah lain apabila daerah yang bersangkutan tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah. Penghapusan dan penggabungan daerah beserta akibatnya ditetapkan dengan undang-undang. Untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahan tertentu yang bersifat khusus bagi kepentingan nasional, Pemerintah dapat menetapkan kawasan khusus dalam wilayah provinsi dan/atau kabupaten/kota.Pembagian Urusan Pemerintahan
Urusan Pemerintahan Pusat Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-undang ditentukan menjadi urusan pemerintah pusat. Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah Pusat meliputi:- politik luar negeri;
- pertahanan;
- keamanan;
- yustisi;
- moneter dan fiskal nasional; dan
- agama.
Urusan Pemerintahan Daerah
Penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar susunan pemerintahan. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah, yang diselenggarakan berdasarkan kriteria di atas terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan.Otonomi Daerah: Landasan Hukum, Asas, dan Pemda
Konsep otonomi daerah, menurut Ma’mun Ridwan (2003:1), telah ada sejak zaman kerajaan-kerajaan di Nusantara, Pemerintah kolonial Belanda dan Jepang, sampai Indonesia merdeka hingga sekarang, sebenarnya telah melaksanakan konsep otonomi daerah. Pada setiap zamannya terdapat benang merah yang menunjukkan bahwa substansi otonomi daerah telah lama ada, yakni memberikan kewenangan pada pemerintahan daerah, untuk mengurus rumah tangganya sendiri, termasuk mengoptimalisasikan potensi sumber daya manusia dan potensi alamnya. Realitasnya menunjukkan, konsep otonomi darah mendorong penyelenggaraan pemerintah daerah bisa secara efektif dan efisien. Zaman penjajahan Belanda, otonomi daerah diterapkan untuk kepentingan pemerintah kolonial. Gubernur Jenderal memberikan kewenangan kepada pemerintah swapraja ataupun daerah Gubermenan, para pemimpin rakyat (Volks Hoofden) dibiarkan memerintah rakyatnya sendiri, namun hasilnya dikuras untuk kepentingan kompeni.
Ketika Indonesia merdeka, konsep otonomi daerah sudah diundangkan sebagaimana termuat dalam UU No. 1 Tahun 1945 yang kemudian mengalami penggantian melalui UU No. 22/1948, UU No. 1/1957, UU No. 18/1965, UU No. 5/1974, UU No. 22/1999, dan terakhir melalui UU No. 32 Tahun 2004.
Konsep otonomi, menurut Ismail Suny (dalam Ni’matul Huda, 2005:87-88) ada lima tingkatan, yaitu:
Negara kesatuan dengan otonomi yang terbatas. Melalui UU Nomor 5 Tahun 1974, Indonesia merupakan contoh negara yang menganut otonomi terbatas. Meski di dalamnya ditegaskan asas desentralisasi, substansinya sangat sentralistik. Ia memberikan wewenang yang sangat besar pada pemerintah pusat dalam banyak hal.
Negara kesatuan dengan otonomi luas. Secara ekonomi, otonomi yang luas harus didukung dengan kekayaan dan keuangan. Oleh karena itu, sangatlah diperlukan pengaturan tentang perimbangan kekayaan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Perimbangan ini diperlukan agar pengurusan kekayaan dan keuangan tidak semata-mata ada di tangan pemerintah pusat.
Negara quasi federal dengan provinsi atas kebaikan pemerintah pusat. Ciri negara semacam ini adalah kekuasaan pada pemerintahan pusat untuk menentukan berlaku tidaknya keputusan-keputusan yang ditetapkan oleh daerah-daerah bagian. Karenanya, negara model begini disebut juga negara federal semu.
Negara federal dengan pemerintahan federal, seperti negara Amerika Serikat, Australia, Kanada, dan Swiss.
Negara Konfederasi. Dalam bentuknya yang paling ekstrem, suatu negara dikatakan berbentuk konfederasi jika pemerintah pusat tergantung pada goodwill negara-negara anggota konfederasi atau negara-negara anggota commonwealth.
Ada dua alasan pokok, menurut Robert Rienow (1996:573), dari kebijaksanaan membentuk pemerintahan di daerah. Kedua alasan pokok tersebut, yaitu: (1) membangun kebiasaan agar rakyat memutuskan sendiri sebagian kepentingannya yang berkaitan langsung dengan rakyat; (2) memberi kesempatan kepada masing-masing komunitas yang mempunyai tuntutan yang bermacam-macam untuk membuat aturan-aturan dan programnya sendiri. Semangat ini tertuang di dalam Pasal 1 angka (6) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, dinyatakan bahwa:
“Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Sedangkan istilah Otonomi Daerah diartikan sebagai hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai peraturan perundang-undangan (Pasal 1 angka 5 UU 32 Tahun 2004).
Manfaat Otonomi Daerah, menurut Shabbir Cheema dan Rondinelli, (dalam Dadang Solihin, 2007:11), yaitu: (1) Perencanaan dapat dilakukan sesuai dengan kepentingan masyarakat di daerah yang bersifat heterogen. (2). Memotong jalur birokrasi yang rumit serta prosedur yang sangat terstruktur dari pemerintah pusat. (3). Perumusan kebijaksanaan dari pemerintah akan lebih realistik. (4). Desentralisasi akan mengakibatkan terjadinya “penetrasi” yang lebih baik dari pemerintah pusat bagi daerah-daerah yang terpencil atau sangat jauh dari pusat, di mana seringkali rencana pemerintah tidak dipahami oleh masyarakat setempat atau dihambat oleh elite lokal, dan di mana dukungan terhadap program pemerintah sangat terbatas.
2. Landasan Hukum Otonomi Daerah
2.1 UUD 1945
Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara kesatuan berbentuk republik”. Dengan demikian, adanya daerah yang mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri harus diletakkan dalam kerangka negara kesatuan bukan negara federasi.
Pasal 18 berbunyi sebagai berikut:
Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.
Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan perwakilan Rakyat Daerah yang anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.
Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.
Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya. Kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.
Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang.
Di dalam Pasal 18A UUD 1945, disebutkan bahwa hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.
Selanjutnya, dalam Pasal 18B UUD 1945 ditegaskan bahwa (1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang; (2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Berdasarkan pasal-pasal tersebut (pasal 18, 18 A dan 18 B), dapat ditarik pengertian-pengertian sebagai berikut:
Daerah tidaklah bersifat “staat” atau negara (dalam negara);
Wilayah Indonesia mula-mula akan dibagi dalam provinsi-provinsi. Provinsi ini kemudian akan dibagi dalam daerah-daerah yang lebih kecil yaitu kabupaten atau kota;
Daerah-daerah itu adalah daerah otonom atau daerah administrasi;
Di daerah otonom dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum (bd. BN. Marbun, 2005:13);
Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa serta kesatuan masyarakat hukum adat dengan hak-hak tradisionalnya (bd. Hanif Nurcholis, 2005 : 59); ini menjadi dasar pembentukan Daerah Istimewa dan pemerintah Desa.
Prinsip daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan;
Prinsip menjalankan otonomi seluas-luasnya (Pasal 18 ayat 5);
Prinsip hubungan pusat dan daerah harus dilaksanakan secara selaras dan adil (Pasal 18 ayat 2, bd. Muhammad Fauzan, 2006 : 41).
2.2 Undang-Undang
Undang-undang organik sebagai tindak lanjut pengaturan pemerintahan daerah di Indonesia berdasarkan konstitusi telah mengalami beberapa pergantian.
2.2.1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1945
Sejak awal kemerdekaan, otonomi daerah telah mendapat perhatian melalui Undang-Undang No. 1 Tahun 1945. Undang-undang ini, menurut Mahfud (2006:224), dibuat dalam semangat demokrasi menyusul proklamasi kemerdekaan yang memang menggelorakan semangat kebebasan. Undang-undang ini berisi enam pasal yang pada pokoknya memberi tempat penting bagi Komite Nasional Daerah (KND) sebagai alat perlengkapan demokrasi di daerah. Asas yang dianut UU No. 1 Tahun 1945 adalah asas otonomi formal dalam arti menyerahkan urusan-urusan kepada daerah-daerah tanpa secara spesifik menyebut jenis atau bidang urusannya. Ini berarti bahwa daerah bisa memilih sendiri urusannya selama tidak ditentukan bahwa urusan-urusan tertentu diurus oleh pemerintah pusat atau diatur oleh pemerintah yang tingkatannya lebih tinggi.
2.2.2 UU No. 22 Tahun 1948
Pada tahun 1948 dikeluarkan UU No. 22 Tahun 1948 guna menyempurnakan UU sebelumnya yang dirasakan masih dualistik. UU Nomor 22 Tahun 1948 ini menganut asas otonomi formal dan materiil sekaligus. Ini terlihat dari pasal 23 (2) yang menyebut urusan yang diserahkan kepada daerah (materiil) dan pasal 28 yang menyebutkan adanya pembatasan-pembatasan bagi DPRD untuk tidak membuat Perda tertentu yang telah diatur oleh pemerintah yang tingkatannya lebih tinggi. Hal ini menunjukkan adanya keinginan untuk memperluas otonomi daerah.
2.2.3 UU No. 1 Tahun 1957
Di era demokrasi liberal, berlaku UUDS 1950, di mana gagasan otonomi nyata yang seluas-luasnya tidak dapat dibendung sehingga lahirlah UU No. 1 Tahun 1957. Di sini, dari sudut UU ini telah dikenal adanya pemilihan kepala daerah secara langsung, meski belum sempat dilaksanakan karena terjadi perubahan politik. Dalam UU ini, menurut Mahfud (2006:245), DPRD dijadikan tulang punggung otonomi daerah, sedangkan tugas-tugas pembantuan dilakukan oleh Dewan Pemerintah Daerah (DPD).
2.2.4 UU No. 18 Tahun 1965
Pada era demokrasi terpimpin, dikeluarkanlah UU Nomor 18 Tahun 1965. UU ini merupakan perwujudan Penpres No. 6 Tahun 1959 yang mempersempit otonomi daerah. Istilah otonomi seluas-luasnya masih dipakai sebagai asas, tetapi elaborasinya di dalam sistem pemerintahan justru merupakan pengekangan yang luar biasa atas daerah. Kepala daerah ditentukan sepenuhnya oleh pemerintah pusat dengan wewenang untuk mengawasi jalannya pemerintahan di daerah. Demikian juga wewenang untuk menangguhkan keputusan-keputusan DPRD sehingga lembaga ini praktis sama sekali tidak mempunyai peran.
2.2.5 UU No. 5 Tahun 1974
Setelah demokrasi terpimpin digantikan oleh sistem politik Orde Baru yang menyebut diri sebagai Demokrasi Pancasila, maka politik hukum otonomi daerah kembali diubah. Melalui Tap MPRS No.XXI/MPRS/1966 digariskan politik hukum otonomi daerah yang seluas-luasnya disertai perintah agar UU No. 18 Tahun 1965 diubah guna disesuaikan dengan prinsip otonomi yang dianut oleh Tap MPRS tersebut. Selanjutnya, melalui Tap MPR No.IV/MPR/1973 tentang GBHN yang, sejauh menyangkut hukum otonomi daerah, penentuan asasnya diubah dari otonomi “nyata yang seluas-luasnya” menjadi otonomi “nyata dan bertanggungjawab” (Mahfud, 2006:226). Ketentuan GBHN tentang politik hukum otonomi daerah ini kemudian dijabarkan di dalam UU No. 5 Tahun 1974 yang melahirkan sentralisasi kekuasaan dan menumpulkan otonomi daerah. Dengan UU yang sangat sentralistik itu terjadilah ketidakadilan politik. Seperti kedudukan DPRD sebagai bagian dari pemerintah daerah dan cara penetapan kepala daerah. Demikian juga terjadi ketidakadilan ekonomi karena kekayaan daerah lebih banyak disedot oleh pusat untuk kemudian dijadikan alat operasi dan tawar-menawar politik.
2.2.6 UU No. 22 Tahun 1999
Pada era reformasi, otonomi daerah kembali mendapat perhatian serius. Otonomi daerah, yang di masa Orde Baru tertuang di dalam UU No. 5 Tahun 1974, kembali dipersoalkan karena dianggap sebagai instrumen otoriterisme pemerintah pusat. Melalui UU No. 22 Tahun 1999, prinsip otonomi luas dalam hubungan pusat dan daerah dikembalikan. Ada tiga hal yang menjadi visi UU No. 22 Tahun 1999, menurut Ryass Rasyid (2002:75), yaitu: (1) membebaskan pemerintah pusat dari beban mengurus soal-soal domestik dan menyerahkannya kepada pemerintah lokal agar pemerintah lokal secara bertahap mampu memberdayakan dirinya untuk mengurus urusan domestiknya; (2) pemerintah pusat bisa berkonsentrasi dalam masalah makro nasional; dan (3) daerah bisa lebih berdaya dan kreatif.
2.2.7 UU No. 32 Tahun 2004
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 menganut prinsip yang sama dengan UU No. 22 Tahun 1999, yakni otonomi luas dalam rangka demokratisasi. Prinsip otonomi luas itu mendapat landasannya di dalam pasal 18 UUD 1945 yang telah diamandemen. Dalam UU ini juga ditegaskan juga sistem pemilihan langsung kepala daerah. Rakyat diberi kesempatan yang luas untuk memilih sendiri kepala daerah dan wakilnya. Menurut pasal 57 ayat (1), Kepda/Wakepda dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
2.3 Peraturan Pemerintah
Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Peraturan ini menjadi dasar hukum otonomi daerah dalam melaksanakan kewenangan di daerah. PP No. 38 Tahun 2007 ini merupakan penjabaran langsung untuk dapat melaksanakan Pasal 14 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004.
3. Asas Penyelenggaraan Otonomi Daerah
3.1 Asas Desentralisasi
Asas penyelenggaraan otonomi daerah yang terpenting adalah desentralisasi (Latin: decentrum). Desentralisasi dapat diartikan “lepas dari pusat” atau “ tidak terpusat”. Desentralisasi sebagai suatu sistem yang dipakai dalam bidang pemerintahan merupakan kebalikan dari sentralisasi. Dalam sistem sentralisasi, kewenangan pemerintah, di pusat maupun di daerah, dipusatkan dalam tangan pemerintahan pusat. Pejabat-pejabat yang ada di daerah hanya melaksanakan kehendak pemerintah pusat. Dalam sistem desentralisasi sebagian kewenangan pemerintah pusat dilimpahkan kepada pihak lain untuk dilaksanakan.
Van Wijk dan Willem (dalam Lukman, 1977:55) menyatakan bahwa delegasi merupakan penyerahan wewenang dari pejabat yang satu kepada pejabat yang lainnya, atau dari badan administrasi satu kepada badan administrasi negara. Desentralisasi sebagai penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom dalam kerangka NKRI terdapat penyerahan wewenang. Wewenang itu adalah penyerahan sebagian wewenang pusat ke daerah terhadap hal-hal tertentu yang diatur dalam undang-undang.
Ada empat aspek yang menjadi tujuan desentralisasi atau otonomi daerah dalam menata jalannya pemerintahan yang baik, (Mahfud, 2006:229) yaitu: (1) dalam hal politik, untuk mengikutsertakan, menyalurkan inspirasi dan aspirasi masyarakat, baik untuk kepentingan daerah sendiri maupun untuk mendukung kebijakan nasional dalam rangka pembangunan proses demokrasi lapisan bawah. (2) dalam hal manajemen pemerintahan, untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan, terutama dalam memberikan pelayanan terhadap masyarakat dengan memperluas jenis-jenis pelayanan dalam berbagai bidang kebutuhan masyarakat. (3) dalam hal kemasyarakatan, untuk meningkatkan partisipasi serta untuk menumbuhkan kemandirian masyarakat, dengan melakukan usaha empowerment masyarakat, sehingga masyarakat makin mandiri dan tidak terlalu banyak tergantung pada pemberian pemerintah serta memiliki daya saing yang kuat dalam proses pertumbuhan. (4) dalam hal ekonomi pembangunan, untuk melancarkan pelaksanaan program pembangunan guna tercapainya kesejahteraan rakyat yang makin meningkat.
Menurut Bagir Manan (1994:161-167), dasar-dasar hubungan antara pusat dan daerah dalam kerangka desentralisasi ada empat macam, yaitu:
Dasar-dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara. UUD 1945 menghendaki kerakyatan dilaksanakan pada pemerintahan tingkat daerah. Ini berarti UUD 1945 menghendaki keikutsertaan rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan tingkat daerah, keikutsertaan rakyat pada pemerintahan tingkat daerah hanya dimungkinkan oleh desentralisasi.
Dasar pemeliharaan dan pengembangan prinsip-prinsip pemerintahan asli: pada tingkat daerah, susunan pemerintahan asli yang ingin dipertahankan adalah yang sesuai dengan dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara.
Dasar kebhinekaan: “Bhineka Tunggal Ika”, melambangkan keragaman Indonesia, otonomi, atau desentralisasi merupakan salah satu cara untuk mengendorkan “spanning” yang timbul dari keragaman.
Dasar negara hukum: dalam perkembangannya, paham negara hukum tidak dapat dipisahkan dari paham kerakyatan. Sebab pada akhirnya, hukum yang mengatur dan membatasi kekuasaan negara atau pemerintah diartikan sebagai hukum yang dibuat atas dasar kekuasaan atau kedaulatan rakyat.
Pada sistem pemerintahan yang terbaru tidak lagi banyak menerapkan sistem sentralisasi, melainkan sistem otonomi daerah yang memberikan sebagian wewenang yang tadinya harus diputuskan pada pemerintah pusat kini dapat diputuskan di tingkat pemerintah daerah. Kelebihan sistem ini adalah sebagian besar keputusan dan kebijakan yang berada di daerah dapat diputuskan di daerah tanpa adanya campur tangan dari pemerintahan di pusat. Namun kekurangan dari sistem desentralisasi pada otonomi khusus untuk daerah adalah euforia yang berlebihan di mana wewenang tersebut hanya mementingkan kepentingan golongan dan kelompok serta digunakan untuk mengeruk keuntungan pribadi atau oknum. Hal tersebut terjadi karena sulit untuk dikontrol oleh pemerintah di tingkat pusat.
Pemberian kewenangan otonomi daerah kepada daerah didasarkan asas desentralisasi dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggungjawab. Dengan demikian diharapkan berimplikasi : pertama, Adanya keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan semua bidang pemerintahan yang diserahkan dengan kewenangan yang utuh mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian, dan evaluasi. Kedua, Adanya perwujudan tanggungjawab sebagai konsekuensi logis dari pemberian hak dan kewenangan tersebut berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat, berjalannya proses demokrasi, dan mengupayakan terwujudnya keadilan dan pemerataan. Di sisi lain, kewibawaan pemerintah akan sangat dipengaruhi oleh kemampuan menyelenggarakan pelayanan publik yang dapat memuaskan masyarakat serta memfasilitasi masyarakat dan dialog publik dalam pembentukan kebijakan negara, sehingga pelayanan pemerintah kepada publik harus transparan, terpercaya, serta terjangkau oleh masyarakat luas.
3.2 Asas Dekonsentrasi
Dekonsentrasi merupakan pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pejabat-pejabat di daerah. Pelimpahan wewenang berdasarkan asas dekonsentrasi adalah tetap menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, baik dari segi policy, perencanaan, pelaksanaan, maupun pembiayaan.
Wewenang yang dilimpahkan dalam rangka pelaksanaan asas dekonsentrasi ini adalah (Penjelasan Pasal 14 UU No. 32 Tahun 2004):
Bidang pemerintahan yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota, seperti pekerjaan umum, perhubungan, kehutanan, dan perkebunan.
Bidang pemerintahan tertentu yang meliputi: (1) perencanaan dan pengendalian pembangunan regional secara makro; (2) pelatihan bidang tertentu, alokasi sumberdaya manusia dan penelitian yang mencakup provinsi; (3) pengelolaan pelabuhan regional; (4) pengendalian lingkungan hidup, promosi budaya/pariwisata; (5) penanganan penyakit menular dan hama tanaman (6) perencanaan tata ruang provinsi.
Kewenangan daerah otonom Kabupaten/Kota setelah ada pernyataan dari daerah yang bersangkutan tidak atau belum dapat melaksanakan kewenangannya.
Pelaksanaan kewenangan tersebut dilakukan dengan menselaraskan pelaksanaan otonomi yang nyata, luas, dan bertanggung jawab.
3.3 Asas Tugas Pembantuan
Tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu (Ketentuan Umum nomor 9, UU 32 Tahun 2004). Asas tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan desa, dan dari daerah ke desa, untuk melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya. Pelaksanaan asas tugas pembantuan ini dapat dilaksanakan di provinsi, kota, dan desa. Oleh karena itu, pemerintah dalam melaksanakan asas tugas pembantuan ini, pusat dapat menerapkan di provinsi sampai ke desa. Demikian juga provinsi dapat memberikan tugas pembantuan kepada daerah kabupaten/kota sampai ke desa-desa. Pelaksanaan tugas pembantuan ini senantiasa untuk memperkuat kedaulatan Indonesia sebagai negara kesatuan.
4. Unsur Pemerintahan Daerah
Di dalam Ketentuan Umum angka 2 dan angka 3, UU No. 32 Tahun 2004, disebutkan bahwa (1) Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (2) Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
4.1 Kepala Daerah
Pemerintahan Daerah, menurut Penjelasan Umum (4) UU No 32 Tahun 2004, adalah pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan daerah yang dilakukan oleh lembaga pemerintahan daerah, yaitu: Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Daerah (DPRD).
Kepala Daerah adalah Kepala Pemerintah Daerah yang dipilih secara demokratis. Pemilihan secara demokratis terhadap Kepala Daerah tersebut, dengan mengingat bahwa tugas dan wewenang DPRD menurut Undang-Undang 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD, menyatakan, antara lain: bahwa DPRD tidak memiliki tugas dan wewenang untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, maka pemilihan secara demokratis dalam Undang-Undang 32/2004 dilakukan oleh rakyat secara langsung. Kepala daerah dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh seorang wakil kepala daerah dan perangkat daerah. Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dapat terjadi apabila: meninggal dunia; permintaan sendiri; atau diberhentikan (Pasal 29, UU No. 32 Tahun 2004).
Perangkat daerah adalah pembantu kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Secara umum perangkat daerah terdiri dari unsur staf yang membantu menyusun kebijakan dan koordinasi, diwadahi dalam lembaga sekretariat; unsur pendukung tugas kepala daerah dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah yang bersifat spesifik, diwadahi dalam lembaga teknis daerah; serta unsur pelaksana urusan daerah yang diwadahi dalam lembaga dinas daerah. Dasar utama penyusunan perangkat daerah dalam bentuk suatu organisasi adalah adanya urusan pemerintahan yang perlu ditangani. Besaran organisasi perangkat daerah sekurang-kurangnya mempertimbangkan faktor kemampuan keuangan; kebutuhan daerah; cakupan tugas yang meliputi sasaran tugas yang harus diwujudkan; jenis dan banyaknya tugas; luas wilayah kerja dan kondisi geografis; jumlah dan kepadatan penduduk; potensi daerah yang bertalian dengan urusan yang akan ditangani; sarana dan prasarana penunjang tugas. Oleh karena itu, kebutuhan akan organisasi perangkat daerah bagi masing-masing daerah tidak senantiasa sama atau seragam.
Tugas dan wewenang Kepala Daerah diatur dalam Pasal 25 (UU No. 32 Tahun 2004), sebagai berikut:
memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD;
mengajukan rancangan Perda;
menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD;
menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD kepada DPRD untuk dibahas dan ditetapkan bersama;
mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah;
mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan
melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Adapun kewenangan Kepala Daerah dalam pembentukan Perda adalah sebagai berikut:
Membuat Rancangan Perda. Kepala Daerah (Gubernur/Bupati/Walikota) memiliki wewenang untuk membuat rancangan Perda dan mengajukan rancangan Perda untuk dibahas oleh DPRD. Apabila DPRD juga mengajukan rancangan Perda yang materinya sama, maka rancangan Perda dari Kepala Daerah digunakan sebagai bahan sandingan. Tata cara mempersiapkan rancangan Perda yang disampaikan oleh Kepala Daerah diatur dengan Peraturan Presiden (Pasal 140 UU No.32 Tahun 2004).
Menyebar-luaskan rancangan Perda yang buat oleh Kepala Daerah melalui sekretariat daerah (Pasal 142 UU No. 32 Tahun 2004).
Menetapkan Perda. Kepala Daerah menetapkan Perda yang telah disetujui bersama DPRD. Apabila Kepala Daerah tidak menetapkan Rancangan Perda yang telah disetujui bersama DPRD, setelah tiga puluh hari, maka Rancangan Perda tersebut sah menjadi Perda dan wajib diundangkan dengan memuatnya dalam lembaran daerah (Pasal 144 UU No.32 Tahun 2004).
Kepala Daerah berhak mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung, apabila Pemerintah, melalui Peraturan Presiden, membatalkan Perda (Pasal 145 UU No.32 Tahun 2004).
Kepala Daerah memberhentikan pelaksanaan Perda dan selanjutnya bersama DPRD mencabut Perda yang dibatalkan oleh Pemerintah (Pasal 146 UU No.32 Tahun 2004).
Kepala Daerah dapat membuat peraturan kepala daerah atau keputusan kepala daerah untuk mengimplementasikan Perda (Pasal 146 UU No.32 Tahun 2004).
Menyebarluaskan Perda yang telah diundangkan dalam Lembaran Daerah dan Peraturan Kepala Daerah yang telah diundangkan dalam Berita Daerah (Pasal 147 UU No.32 Tahun 2004).
Kepala Daerah dalam menegakkan Perda dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat dibentuk Satuan Polisi Pamong Praja (Pasal 148 UU. No. 32/2004), dan dapat menunjuk pejabat lain yang diberi tugas untuk melakukan penyidikan terhadap pelanggaran atas ketentuan Perda (Pasal 149).
4.2 Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Penjelasan Umum 4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Di dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ditegaskan bahwa penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah pemerintah daerah dan DPRD. Pasal 40 menyatakan bahwa DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah. DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat daerah memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan.
Tugas dan Wewenang DPRD menurut Pasal 42 UU No. 32 Tahun 2004 adalah sebagai berikut:
membentuk Perda yang dibahas dengan kepala daerah untuk mendapat persetujuan bersama;
membahas dan menyetujui rancangan Perda tentang APBD bersama dengan kepala daerah;
melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan peraturan perundang-undangan lainnya, peraturan kepala daerah, APBD, kebijakan pemerintah daerah dalam melaksanakan program pembangunan daerah, dan kerja sama internasional di daerah;
mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah/wakil kepala daerah kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri bagi DPRD provinsi dan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur bagi DPRD kabupaten/kota;
memilih wakil kepala daerah dalam hal terjadi kekosongan jabatan wakil kepala daerah;
memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah terhadap rencana perjanjian internasional di daerah;
memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sana internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah;
meminta laporan keterangan pertanggungjawaban kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah;
membentuk panitia pengawas pemilihan kepala daerah;
melakukan pengawasan dan meminta laporan KPUD dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah;
memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama antar daerah dan dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah.
Untuk melaksanakan tugas dan wewenangnya, DPRD mempunyai hak: interpelasi; angket; dan c. menyatakan pendapat (Pasal 43).
Sebagai anggota DPRD, UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 44 memberikan hak-hak sebagai berikut: mengajukan rancangan Perda; mengajukan pertanyaan; menyampaikan usul dan pendapat; memilih dan dipilih; membela diri; imunitas; protokoler; dan . keuangan dan administratif.
Adapun kewenangan DPRD dalam pembentukan Perda adalah sebagai berikut:
Membuat Rancangan Perda. Rancangan Perda dapat disampaikan oleh anggota DPRD, komisi, gabungan komisi, atau alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang legislasi (pasal 140). Tata cara mempersiapkan rancangan Perda diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD (pasal 141).
Menyebarluaskan rancangan Perda yang dilaksanakan oleh sekretariat DPRD (pasal 142).
Membahas dan menyetujui Rancangan Perda (Pasal 140 ayat 2).
Menyampaikan Rancangan Perda yang telah disetujui bersama Kepala Daerah, kepada Kepala Daerah untuk ditetapkan sebagai Perda (pasal 144).
Mencabut Perda, bersama Kepala Daerah, apabila Perda dibatalkan oleh Pemerintah (Pasal 145).